2: Rasa Frustasi

3.5K 696 68
                                    

|

❤🌞🍉

D u a

|

Sudah pernah lihat singa marah? Kalau belum, sebentar lagi kalian akan menyaksikannya.

"Irene Bernice. Setelah dirundingkan, kami takkan mencabut gelarmu sebagai ambasador kampus.

"Namun dengan syarat, kau harus memperbaiki citramu dengan melakukan 2 bulan layanan komunitas di Daegu."

"Dan tentu saja harus dibuat laporannya. Setiap hari. Pengumpulan setiap dua minggu."

"Setelah itu, kami baru akan mempertimbangkan beasiswamu."

Oh, mengingat barisan kalimat tersebut sungguh membuat kepala Irene mendidih.

Dua bulan layanan komunitas di suatu tempat yang jauh dari pusat kota Seoul alias Daegu. Di saat musim panas tengah berjalan yang notabene merupakan waktu libur-biasanya, waktu yang tepat bagi Irene untuk bekerja full-time.

Tapi ini tak seberapa, ada yang lebih mengesalkan lagi.

"Vante bayar uang denda. Jadi tak perlu ke Daegu untuk pelayanan komunitas."

Terkutuklah, Victorius Vante Kim dan siapapun yang membuat kebijakan yang tidak bijaksana sama sekali tersebut.

Irene benar-benar tidak habis pikir.

Karena 'peran' yang kau miliki di lingkungan memberimu sebuah tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini membuat kau-mau tak mau-harus menanggung semua.

Semua, termasuk yang bukan kesalahanmu.

Tidak adil, batinnya berkata sembari membanting pintu ruangan yang membuatnya muak.

|
○○○
|

Matahari mulai turun perlahan, sedari tadi Irene berdiri di sudut koridor sepi yang tak ada orang. Puncak kepalanya ditempel pada tembok dingin. Sesekali ia tubrukkan pelan ke sana. Tidak sakit, memang. Hanya ada sensasi yang menurutnya akan membuatnya merasa lebih baik.

Irene membalikkan badan, lalu mendongak sembari menghela napas.

Irene tahu ini bukan hari yang terlampau buruk sampai ia harus bersikap seperti ini. Ia merasa lemah dan Irene tidak suka dirinya yang seperti ini. Namun tanpa bisa dikontrol matanya mulai panas dan berlinang air.

Tidak suka seperti ini. Batinnya menolak untuk menangis.

Apa daya. Terkadang ada hari buruk dimana hatimu lah yang bergerak. Mengambil alih kuat, membuat air matamu turun begitu sajaㅡtanpa kau ingini, tanpa kau sadari.

Dan bagi Irene Bernice, hari buruk itu adalah hari ini. Detik ini.

Ia merosot, duduk beralas keramik putih dan bersandar pada tembok kelabu yang dingin. Air mata tanpa suara miliknya semakin menyeruak begitu kepalanya dibenamkan di lutut.

Irene tahu ia bisa melewati hari ini. Ia akan melewati hari ini. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi, untuk hari ini saja, biarkan ia menangis. Sendirian. Seperti ini.

Sebab, memendam itu lelah. Bertahan jadi kuat itu susah.

Jadi sedikit yang Irene tahu, gadis itu tidak sadar bahwa Vante telah berdiri beberapa meter di sampingnya sedari tadi, bersembunyi dari balik tembok.

Helaan napas keluar dari bibir pria itu sebelum ia meletakkan sebungkus tisu di samping paha Irene. Pelan-pelan. Berharap tidak menganggu.

Ia berbisik, melayangkan kata-kata seperti maaf atau berhenti menangis dengan sangat pelan. Sangat kecil sampai mungkin tidak terdengar oleh Irene.

Jujur saja, Vante tidak bermaksud menganggu Irene. Ia punya alasan. Sebuah alasan yang menurutnya cukup kuat untuk melibatkan dirinya dengan Irene yang sejujurnya tak begitu dikenalnya.

Di mata Vante, Irene yang ia tahu adalah satu dari ratusan mahasiswi berprestasi di Universitas SM, aktif organisasi, dan sering mewakili fakultas dalam kompetisi.

Irene juga dikenal sebagai gadis yang lumayan cantik di jurusannya, namun dicap ketus dan dingin karena tidak banyak berinteraksi dengan orang lain, kecuali dengan lingkarannyaㅡyang bisa dihitung dengan 1 tangan.

Tapi secara keseluruhan, Irene itu selalu bersebelahan dengan kata kunci 'sibuk', 'over-produktif', danㅡyang paling berlebihanㅡ'tidak punya waktu'.

Dan lagi, Irene dikabarkan punya segudang pekerjaan paruh waktu yang menunggunya begitu melangkah pulang dari kampus.

Itu saja yang Vante tahu. Bukan informasi pribadi. Hanya serentetan fakta Irene Bernice yang diketahui hampir satu fakultas ekonomi.

Vante tidak pernah mengenal Irene secara pribadi. Dan cukup konyol baginya untuk berlagak gila seperti kemarin. Mencium, uhm, maksudnya, berpura-pura dan membuat gadis itu terlihat dicium.

Tapi, percayalah. Ada alasan mengapa Vante melakukan itu semua.

Tidak sekarang. Tidak untuk diutarakan saat ini.

Menyadari kehadiran Vante yang mendadak. Irene mendongak. Pipinya muncul semburat merah karena malu tertangkap basah saat menangis.

Tidak pernah sekali pun Irene menangis di depan orang lain. Dan seorang asing bernama Victorius Vante memergokinya menangis sendirian.

Terlihat menyedihkan di depan orang yang menjadi alasan air matamu sungguh terlihat menyedihkan, bukan?

"Irene, aku ingin min-"

Tanpa menyembunyikan wajah kesalnya ia beranjak dan melewati Vante dengan keki. Tidak membiarkan pria itu menyelesaikan kalimatnya.

Gadis itu rela turun melewati tangga daripada menunggu lift. Sebab Irene keberatan menghabiskan waktu lebih lama dan menghirup oksigen di tempat yang sama dengan pria itu.

Sial. Vante jadi ikut terbawa kesal. Tidak jadi meminta maaf, Vante jadi mendengus napas kasar, "Masa bodo kalau kau benci padaku."

Ekor matanya mengikuti langkah gadis mungil itu berada. Sesaat punggung gadis itu telah menghilang dari penglihatan Vante, ia menarik napas panjang-panjang, tanpa rencana membiarkan rasa bersalah menggerogoti hati.

Pikiran seperti 'harusnya aku tidak ikut campur' sempat bergejolak dalam kesadarannyaㅡdan jujur saja, masih.

Mungkin demi menghibur marwahnya yang tinggi, bibirnya dipakai tanpa rencana untuk menyangkal, yang dilontarkan Vante lewat decihan ringan.

"Oke. Buat apa peduli." []

_______

Note:

Aku seneng tiap liat notif kalau ada yang komen dan vote. Apalagi kalau dimasukin ke Reading List. Huhu. Those motivated me a lot.

I'm so grateful to have people who willingly waste their time to read this piece of shit. Jujur, insecure banget tiap mau publish. Mohon support sampai kisah ini end, ya. 😊


|

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

|

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now