2.5: Irene Bernice

2.9K 621 42
                                    

Once upon a time, there was a lonely star. Very small, but use all its strength to shine.

|

❤🌞🍉

D u a t i t i k
L i m a

|

Ruang Wawancara 003 :Finalist Campus Ambassador of SM University

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ruang Wawancara 003 :
Finalist Campus Ambassador of SM University

"Nama?"
"Irene Bernice."

"Usia?"
"Uhm.. 20? 20."

"Jurusan dan cabang peminatan?"
"Komunikasi. Broadcasting. Radio."


"IPK?"
"4.00"

"Prestasi?"
"Baca saja di CV saya."

Dosen bernama Pak Gevin itu mendeham saat mendengar jawabanku yang tak biasa, atau lebih spesifiknya, terdengar sombong. "Serius, Pak. Kalau aku sebutkan, lumayan lama."

Tidak bermaksud apa-apa, tapi aku hanya malas membacakan satu persatu. Lagipula fungsi aku mengirimkan CV kan untuk dibaca mereka, bukan membacakan mereka. Dan lagi, CV-ku hanya terdiri dari satu lembar. Masa lihat sendiri saja enggan?

Akhirnya dosen itu melirik CV-ku sekilas, ia lalu kembali mengetik sesuatu di komputer. "Alasan mengikuti acara campus ambassador SM University?"

"Butuh uang."

"Apa? Coba ulangi," Kali ini Pak Gevin membuka suara lebih kencang, sedari tadi ia berbicara seperti orang kumur-kumur. Dia tidak percaya dengan apa yang ia dengar, jadi dia butuh pengulangan.

Suara napas keluar perlahan dari bibirku. "Iya.. Butuh uang."

Perlu beberapa detik sebelum aku lanjut memberikan penjelasan alasan mengapa aku mendaftarkan diri di acara ini.

"Sebenarnya, aku perlu beasiswa untuk masuk ke cabang jurusan radio. Saya sudah menulis esai berisikan alasannya di dalam resume saya."

Aku harus menjadi satu-satunya penerima beasiswa cabang jurusan Broadcasting yaitu radio, semester ini. Menjadi penyiar radio sudah jadi mimpiku sejak kecil. Saat Ibu masih ada, aku dan Jennie suka mendengar radio, ditemani pemandangan bintang malam yang biasa kami tatap lewat sudut ruangan.

Alunan suara penyiar selalu terdengar seperti melodi bagiku.

Ralat. Suara itu memang melodi untuk kamiㅡbahkan suara gemersik radio sekalipun.

Aku membuang napas lega karena pak Gevin tidak menanyakan hal ini secara lebih lanjut. Dan tetap fokus ke dalam inti wawancara. Ia berdeham sebelum melanjutkan wawancara.

"Kelebihanmu?"

"Pekerja keras dan jujur."

"Aku setuju dengan yang terakhir. Terlampau jujur, lebih tepatnya," komentar pak Gevin. Sarkasme, sepertinya.

Aku tersenyum tanpa alasan. Ingin tersenyum saja. Terkadang manusia tersenyum sebagai bentuk apresiasi diri atau menghina diri. Aku percaya soal itu.

"Lanjut pertanyaan selanjutnya. Apa kekuranganmu, Irene?"

Tanpa aba-aba, mulutku meluncurkan jawaban yang sukses membuat Pak Gevin hanya melongo, menatapku dengan pusing, "Aku tidak punya koneksi," balasku.

Mungkin dia bingung mengapa aku terlihat acuh tak acuh dalam menjawab.

Kalau kalian juga berpikir bahwa aku tidak punya niat mengikuti kontes ini, kalian salah besar. Ini sudah Final Top 5, dan mereka sedang melakukan rekap ulang para finalis sebagai bahan seleksi menuju top 3ㅡpalingan menyampaikan pidato ala-ala Miss Universe, atau sekadar menjawab pertanyaan juri jam 8 malam nanti.

Aku menghabiskan waktuku belajar di sela kelas kosong dan juga di tengah jam kosong part-time. Karena tak ada yang membiayaiku, hanya ini yang bisa kulakukan sekuat tenaga untuk meraih impianku.

"Nak, ini pertanyaan serius, lho."

"Aku juga menjawab dengan serius, Pak."

Dan pandangan Pak Gevin saat itu sulit kuartikan. Seperti 50% heran dan lain sisi 50% tertarik.

Mungkin lain kali, aku jawab 'terlalu jujur' sebagai kekuranganku saja. []

________


|

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

|


✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now