28: Rasa Yang Harus Diakhiri

1.7K 426 68
                                    

|

❤🌞🍉

D u a  p u l u h
D e l a p a n

|


Festival bunga cosmos adalah salah satu acara yang paling ditunggu saat penghujung musim panas. Cosmos adalah ikon bunga musim panas yang paling unik dan cantik. Merah muda dan kuning. Kombinasi terbaik.

Kalau Irene lihat dari internet, satu-satunya tempat yang merayakan festival ini di Seoul ada di Guri Han-Gang Park Festival.

Jadi setelah menghabiskan ide bucket list Irene siang dengan menikmati momen di bioskop dan karoke, Irene mengajak Vante ke Taman Han-Gang.

Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah, pikirnya menguatkan tekad.

Mendadak gadis itu dikejutkan dengan balon merah hati besar yang tiba-tiba muncul di hadapannya seperti trik sulap.

Perbuatan siapa lagi kalau bukan Victorius Vante? Lantas mendapati pria itu lagi-lagi menyengir lebar, Irene hanya bisa tersenyum tipis seraya menerima balon merah menggemaskan tersebut.

"Sini tanganmu," pinta Irene.

"Mau diapakan?"

"Diikat dengan balon. Sini," Irene terkekeh kecil.

Vante memiringkan kepala, "Ada arti apa ini?"

Irene berhenti dalam satu sekon singkat, sebisa mungkin agar tidak terbaca. Gadis itu meloloskan satu helaan napas dan gumaman kecil sebelum tersenyum manis, "Tidak ada. Biar kamu tidak pergi saja..."

"Sayang padaku tidak?"

Irene mengangguk, "Mana mungkin tidak."

Lalu tangan Irene diulurkan pada Vante. Bibirnya pelan-pelan menggumamkan kata 'Sini' sehabis tersenyum. Satu langkah dibuat, memperkecil jarak antara mereka.

Vante membiarkan tangannya entah diapakan. Entahlah, ia tidak begitu fokus pada jari lentik yang sedang membenahi tali benang tipis di jari manisnya. Kepalanya tak henti-henti membuat asumsi. Seolah-olah berbisik; Buku ini mengisyaratkan kode apa lagi?

Ceklist, sudah ada 2 keanehan.

Kalau sampai Irene benar-benar melakukan 1 keanehan yang terakhir, maka Vante benar-benar yakin dengan asumsinya.

Irene merasakan kupu-kupu dalam perutnya menari bebas tatkala Vante menggenggam tangan Irene, erat sekali. Tambahan; tatapan Vante dengan hangatnya masuk ke iris Irene.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Irene merentangkan tangannya, memeluk Vante. Erat. Sangat malah. Mungkin lebih erat dari genggaman Vante tadi.

Aroma peppermint menguar dari pakaian Vante, beriringan dengan rasa hangat yang menjalar saat ia merasakan punggung mungilnya ditepuk lembut.

Lidahnya mendadak kelu. Irene tahu apa yang ingin dibicarakannya. Ia tidak lupa. Kepalanya tidak kosong. Ia terus melafalkan kalimat yang hendak ia lontarkan. Namun seluruh komplikasi dirinya tak sanggup dan tak ingin mengatakannya.

Tapi untuk situasi ini, ia harus mengatakannya walau dengan berat hati.

Maka dengan lirihan kecil yang terembes dari balik kepala yang terbenam dalam dekapan prianya, Irene berbisik pelan, "Vante..."

"Hm?"

Ucapkan, Rene. Bilang kau mau putus.

"Vante, maafㅡ" Mendadak ucapan Irene terhenti, digantikannya dengan kecupan singkat di bibir.

Selepas tautan lembut tersebut, Irene mendapati sosok dirinya yang berantakkan di pupil Vante yang bergetarㅡterpatri di wajah menawan Vante yang rautnya tak kalah kacau dari Irene sendiri.

"Jangan bicara apa-apa."

Lagi-lagi. Vante tahu.

Manik keduanya mulai berkaca-kaca. Dalam satu detik, Irene menghempaskan diri ke dalam dada bidang Vante, membuat balon merah yang belum sempurna terikat pada jari pria itu terlepas, mengikuti arah angin dan menghilang di langit jingga yang luas.

Entah kemana. Entah kemana ini akan begulir.

Tangan Irene mengeratkan kepalan pada ujung kemeja Vanteㅡmendadak melemah, dan berganti jadi derai air mata di pipi, "Maafkan aku."

"Kenapa selalu mau memutuskan semuanya sendiri?"

Vante bersumpah ia tidak marah. Ia hanya tak habis pikir. Namun dalam lubuk hatinya, ia mencoba mengerti. Bahwa setiap orang punya caranya sendiri dalam memutuskan. Termasuk memutuskan sendiri.

Dan ironisnya, kekasihnya masuk dalam salah satu fraksi itu.

Memahami bahwa Irene adalah sosok yang cukup kompleks dan individualis, Vante paham. Kehadiran mendadak mungkin merusak segala rencana individu yang dibuatnya.

Irene tidak punya siapapun untuk bersandar. Karena selalu berjuang sendiri, barangkali ia lupa cara berjuang bersama.

Vante tidak tahu bagaimana rasanya punya mimpi. Pernah satu dua kali kepalanya muncul pertanyaan bodoh seperti; Apa itu mimpi? Bagaimana rasanya punya mimpi?

Vante agak lamat-lamat jika disuruh membayangkan.

Tapi jika mimpi yang dimaksud adalah sesuatu objektif yang membuatnya merasa hidupㅡmaka, mimpi Victorius Vante adalah Irene Bernice.

Jadi sebesar atau sekecil apapun mimpi IreneㅡVante ingin meringankannya, membantunya menggapai itu semua.

Sebab jika mimpi yang diinginkan Irene adalah sama berharganya seperti mimpinya, Vante akan memperjuangkannya.

Vante akan membantu Irene memperjuangkannya.

Vante tidak akan menghalangi sebab Vante tahu bagaimana perasaan memiliki mimpinya, Irene Bernice.

Jadi dengan membawa seluruh perjuangan terakhirnya untuk menggenggam impiannya, ia menatap dalam iris kesayangannya.

"Aku menunggu. Jadi sehabis dari sana, kau akan kembali padaku, 'kan?"

Tanpa memberikan jawaban, Irene hanya mengeratkan pelukan dalam keheningan yang sedikit mengoyak hati. []

________

Notes:
Aku kepo sama reaksi kalian. Apakah aku akan dihujat...

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now