Prolog: Summer Magic

6.2K 789 114
                                    

|

❤🌞🍉

P r o l o g

|


Aku pernah dengar entah dari siapa, katanya; semakin kau memiliki peran di lingkunganmu, maka semakin sempit ruang bagimu untuk bersikap.

'Peran' yang kau miliki di lingkungan memberimu sebuah tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini membuat kauㅡmau tak mauㅡharus menanggung semua.

Semua, termasuk yang bukan kesalahanmu.

Aku, Irene Bernice, salah satu dari sekian juta manusia di lingkunganku yang memiliki 'peran'.

Sebagai ambasador kampus di tempat aku menimba ilmu, Universitas Internasional SM. Peranku dituntut sebagai pelajar paling sempurna disini. Good looking, IPK dituntut sempurna, aktif di bidang kemahasiswaan, dan tidak boleh ada skandal negatif baik di dalam atau di luar kampus.

Aku tidak terlahir dengan kondisi 'sempurna' begitu. Aku belajar di setiap detik luangku. Sembari part-time di beberapa tempat, aktif di organisasi dan menghadiri acara formal kampus merupakan kewajiban.

Terdengar ambisius, tapi sebenarnya semua ini demi satu tujuan. Beasiswa Broadcasting, cabang jurusan radioㅡyang terkenal mahalㅡitu harus jadi milikku.

Hari itu seperti biasa aku berjalan di koridor, melewati gedung perpustakaan dan berjalan menuju kantin. Beberapa orang berlalu lalang memberiku selamat atas terpilihnya menjadi wajah kampus. Aku tahu, tidak semuanya tulus memberikanku ucapan selamat, terutama tim sukses Eunice, rivalku seminggu yang lalu.

"Rene!"

Panjang umur. Itu dia.

Namanya Eunice Jung, jurusan komunikasi juga. Dia sekelas denganku sejak semester lalu. Selain cantik, dia juga selalu masuk peringkat sepuluh teratas di jurusan. Kami sama-sama angkatan 11.

"Mau ke kantin ya?"

"Iya, Wendy dan Katie di sana," aku mengulas senyum kecil.

Gadis itu terkikik kecil bersama teman-temannya. Kemudian beberapa dari mereka menepuk punggungku dan pamit. "Duluan, ya, Irene!"

Setelah melenggang menuju kantin, entah mengapa, rasanya hari ini agak aneh.

Orang-orang kerap memperhatikanku dan berbisik-bisik. Bahkan beberapa di antaranya melempar tatapan yang menusuk.

Demi apapun, hal ini sangat tidak biasa. Meskipun aku adalah ambasador kampus, aku juga hanya menjalani kehidupan biasa layaknya murid lain.

Sungguh, dengan diberi pandangan yang menusuk punggung begitu, aku tidak suka. Jadi tidak bebas bergerak.

Aku mendengus, kemudian mengotak-ngatik ponsel, hendak menanyakan posisi duduk Wendy dan Katie. Tapi, tiba-tiba saja sebuah tangan mencolek bahuku.

Begitu aku mendongak, aku lihat pundak yang naik turun, kedua tangan bertolak asal di panggul, dan napas tersengal-sengal. Pemuda itu seperti habis berlari.

"Aku traktir."

"Sorry?"

"Aku traktir," kali ini napasnya sudah lebih teratur dan ia berdiri tegap. Aku bisa melihat dengan jelas sosoknya yang tinggi dan bidang.

Manik kami jadi bertemu.

Matanya besar, ada lipatan. Hidungnya mancung. Surai hitam menutup keningnya dengan rapi. Lalu bibir itu bergerak perlahan, "Aku traktir. Serius," ia mengulang untuk ketiga kalinya.

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now