26: Rasa Manis Musim Panas

2K 448 57
                                    

|

❤🌞🍉

D u a  p u l u h
E n a m

|


Kilapan figura muncul sehabis kain yang dipegang Vante digeser pelan. Di sana ada wajah muda menawan milik Ibu Vante. Cantik. Senyumannya cerah, rambutnya sebahu bergelombang, hitam dan berkilau.

Ah, masih sama seperti yang diingatnya. Tidak pernah berubah.

Diliriknya Irene yang tampak gugup sekali berhadapan dengan figura tersebut. Kepalan erat tangan Irene perlahan melonggar saat telapak Vante menyelip dan menautkannya erat di sana.

"Ma, ini Irene," Vante menjeda. Bingung harus memperkenalkan gadis ini sebagai siapa.

Pacar bukan, sih? Sudah atau belum? Vante, sih, sudah menganggapnya sebagai kekasih sendiri. Tetapi Irene bagaimana? Vante belum menyatakan apapun secara formal. Lagipula 'formalitas' itu memangnya masih dibutuhkan, ya, pada zaman sekarang ini?

Nanti dihajar pula kalau tidak mengakui sebagai pacar, atau malah akan dihajar karena sok mengaku sebagai pacar.

Duh, serba salah. Jadi berusaha memilih kata yang tepat, Vante berkutat sendiri dalam pikirannya sambil cemberut.

"Ini Irene... gadis yang, uh, yang akuㅡ"

"Saya kekasihnya, Tante."

"Wuih?" Mata Vante membulat. Tidak percaya dengan pendengarannya, tentu saja.

Memangnya kapan lagi tembok gengsi Irene Bernice bisa diruntuhkan seperti momen ini. Vante mendadak jadi ingin menguras isi kupingnya. Jaga-jaga, siapa tahu ternyata dia salah dengar.

"Jadi, aku yang ditembak, nih?"

Mata Irene berkedip dua kali, bingung bukan kepalang, "Lho? Aku kan sudah jawab?"

"Jawab kapan?"

"Di kereta."

"Enggak. Itu nggak ada."

"Ada. Secara tidak langsung, it is a yes."

Vante berkedip bingung, "Masa?"

"Mau ditarik lagi?"

"Eeeeh, jangan, jangan," Vante mendengus sebelum melanjutkan cibirannya, "Jahat gila ini cewek. Bahkan belum sehari, sudah mau main mengakhiri saja."

Senyum Irene merekah perlahan. Manis sekali. Kalau senyuman bisa membuat penyakit, mungkin Vante sudah didiagnosis diabetes kronis tingkat 10, kalau ada. Mendadak jantungnya bertalu ringan tatkala sebersit keputusan menjadi bulat di kepalanya.

"Aku mau kasih tahu Mama aku rahasia. Keluar dulu sana."

Irene yang kebingungan pun mengangguk saja. Melangkahkan kaki keluar saat didorong pelan. Kepalanya didongakkan menghadap langit, mencium aroma pagi yang menyenangkan pikiran. Irene masih berusaha menerima rasa cinta yang jarang ia dapatkan.

Kadang kala masih saja ia raguㅡbukan meragukan cinta Vante.  Akan tetapi, lebih kepada bentuk penerimaan dirinya.

Memangnya ia benar-benar pantas, ya, mendadak menerima semua kebahagiaan ini?

Sebuah tepukan lembut di puncak kepala menyadarkannya pada lautan gundah dalam pikirannya.

Itu Vante yang tengah mengusap kepalanya dengan cengiran lebar, "Yuk, makan."

Mengangguk mengiyakanㅡberiringan dengan langkah kaki dan tautan tangan Vante yang menuntunnya, Irene bertanya penuh rasa penasaran.

"Tadi itu rahasia apa, sih?"

"Ya, kan, namanya rahasia. Pokoknya trik sulap Presiden Vante. Rakyat jelata kayak kamu nggak boleh tahu."

"Lho, aku rakyat jelata, ya? Kupikir aku ini Ibu Negara."

"Eh? Aku ini ditembak 2 kali, lho? Jadi bingung. Tersipu."

"Senang?"

"Senang, sih. Kalau kamu Ibu Negara berarti kamu mau dinikahi aku, dong?"

"Kenapa tidak?"

"Kalau aku presiden tanpa uang?"

"Kan aku lebih pintar darimu. Aku yang bekerja. Jadi bagaimana?"

"Apanya bagaimana?"

"Menikah denganku?" Irene menantang dengan satu alis terangkat.

Wah, gila. Vante menelan ludah bersama keterkejutan. Kenapa mendadak ia merasa kalah dan berhasil dibungkamkan gadisnya, ya?

Sejak kapan Irene Bernice jadi berani menantang begini?

Dia sudah meracuni Irene apa saja, sih, sampai-sampai Irene Bernice jadi seperti ini?

Dan sekarang malah ia sendiri yang tak terbiasa dengan sosok Irene yang tidak malu-malu kucing.

Atau...

Masa, sih, restu Ibu secepat itu mujizatnya?

Mendadak ia jadi teringat dengan rahasia yang ia bisikkan kepada ibunya tadi.

"Mama... Doakan kami, ya," Vante bisik di guci abu berbahan giok tersebut. "Aku sudah menemukan calon menantu buat Mama. Sudah siap jadi nenek belum?" []

________

Notes:
Belum end, belum.
Silahkan bahagia-bahagia dulu, ya kalian *senyum polos*

Silahkan bahagia-bahagia dulu, ya kalian *senyum polos*

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now