47. Sepatu

133K 11.1K 953
                                    

Selama perjalanan pulang menuju rumah Faren, gadis itu tidak henti hentinya terus tersenyum di boncengan sepeda Dhafian. Perutnya sangat kenyang karena sudah habis 3 porsi sate kelinci, itu belum punya Dhafian, hanya 3 porsi miliknya saja.

Dhafian yang dulu kejam dan selalu melarang Faren berpegangan pada pinggangnya, justru cowok itu menyuruh Faren agar berpegangan pada jaketnya, tapi tetap saja nadanya masih terdengar ketus.

Sesampainya di depan gerbang rumah Faren, cewek itu turun dari motor Dhafian lalu melepas helmnya.

"Makasih ya!" Faren tersenyum lebar sambil menghimpit helmnya di depan perutnya.

"Hm." Dhafian hanya bergumam dan bersiap siap untuk pergi dari rumah Faren.

Faren memasuki pekarangan rumahnya setelah melihat motor Dhafian melesat meninggalkan rumah Faren. Senyuman itu masih menghiasi bibir tipisnya sampai ia tiba di ambang pintu dan menemukan Mamanya duduk di sofa sambil membaca majalah.

Langkah Faren sempat terhenti di ambang pintu. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Faren jarang bertemu dengan Febby karena beliau selalu pulang malam di saat Faren juga sudah tidur.

"Assalamualaikum," ucap Faren kembali melangkahkan kakinya, berpura pura tidak menyadari kehadiran Febby.

Saat Faren hendak menaiki anak tangga pertama, suara Febby menginterupsi langkahnya.

"Loh, ada Mama?" Faren membalikkan badannya, melihat Febby berdiri dari duduknya dan menghampirinya, "Kok udah pulang, Ma?"

"Mama kangen sama kamu."

"Oh..." Faren hanya manggut manggut. Ingin segera ia memasuki kamarnya dan melepaskan kepenatannya sejenak di bawah AC sambil tidur tidur manja.

"Faren, Mama mau kasih tau kamu," kata Febby sambil memegang kedua pundak Faren, wajahnya memancarkan kesedihan, "Kalo Mama sama Papa--"

"Kalian cerai," potong Faren tiba tiba membuat Febby terkejut.

"Kamu udah tau? Dari mana?"

"Faren lihat sendiri buku nikah Mama sama Papa robek."

Febby menghela nafas beratnya, mengetahui bahwa anak bungsunya itu sudah tau sejak beberapa hari lalu membuat rasa bersalahnya semakin besar.

"Maafin Mama ya. Mama bingung harus gimana. Sedangkan Papa kamu nggak berguna di keluarga ini. Yang biayain semua keperluan kita cuma Mama, jadi menurut Mama buat apa Mama harus pertahanin Papa yang kayak gitu?" jelas Febby panjang lebar. Ia takut Faren jadi salah paham dan membenci dirinya.

Faren hanya mengulas senyumannya, "Oh ya, Ma. Bang Garen kapan pulang?"

"Kayaknya nanti malem kalo nggak besok pagi."

"Yaudah deh, Faren ke kamar ya, Ma, mau mandi biar seger." Saat Faren hendak kembali melangkahkan kakinya, ia jadi teringat sesuatu, "Mama nanti mau kemana?"

"Mama mau balik ke kantor. Tadi Mama ijin sebentar buat nemuin kamu dan jelasin semuanya."

"Oh..." Faren kembali mengangguk anggukan kepalanya. Kemudian kakinya menaiki anak tangga pertama begitu selanjutnya hingga ia sampai di depan pintu kamar Garen.

Berhenti beberapa detik, kemudian ia memutar knop pintu kamar Garen. Entah kenapa tiba tiba ia jadi merindukan Abangnya itu.

Faren mengirup aroma dari kamar itu, aroma khas milik Garen. Ia selalu suka dengan bau ini, selalu dapat menenangkan pikiran dan hatinya ketika mereka tidak sinkron.

Faren meletakkan tas ranselnya di kursi belajar milik Garen, lalu melepas sepatu dan kaos kakinya. Masih menggunakan seragam putih abu abunya, ia menaiki kasur big size itu dan merebahkan tubuh di atas kasur. Ia mengambil guling dan memeluknya dengan sangat erat, itu salah satu bentuk dari emosinya yang masih belum terluapkan.

The Cruel BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang