"Sudah sejak tadi di sini San?" Tanya Udin, membuyarkan lamunannya.

Saat ia berbalik badan, bertemulah mata Lidar dan Hasan. Namun sebisa mungkin dipalingkannya tatapan Lidar ke arah laut.

"Tidak, aku baru saja tiba." Ucapnya datar.

"Dengan siapa kau kemari!"

"Sepupuku. Inikah Lidar, adik sepupumu?" Tanyanya balik.

"Benar. Lidar ini Hasan sahabatku."

Beberapa saat hasan terdiam, ia teringat akan sesuatu saat matanya beradu pandang dengan Lidar. Hasan tercengang ketika, ingatannya menyentikkan kejadian tempo lalu, entah kapan kejadiannya, tapi ia yakin sebelumnya bahwa ia pernah bertemu dengan Lidar.

"Owh...aku ingat, kamu gadis yang dulu sempat tertabrak olehku. Kalau tidak salah kamu berdua dengan temanmu, bukan? Saya minta maaf atas kejadian tempo lalu, yang terburu-buru."

"Iya benar, yang bersamaku tempo lalu adalah kaka sepupuku. Kaka kandung dari kuniang."

"Berarti kalian pernah bertemu sebelumnya. Berbicaralah kalian, aku mengawasi kalian dari belakang." Ucap Udin.

Berjalanlah Lidar dan Hasan di pinggiran pantai dengan menjaga jarak. Sementara Udin berjalan di belakangnya dengan posisi agak menjauh, agar tidak membuat mereka merasa canggung. Hasan berjalan lurus, sesekali membuang muka ke arah laut, sementara Lidar sesekali menundukkan kepalanya ke bawah. Tak berapa lama Hasanpun membuka suara.

"Ku dengar kamu baru saja pindah dari Jakarta? Mengapa, bukankah di sana jauh lebih enak?"

"Ya. Memang enak, namun tidak untuk bakti." Ucapnya singkat.

"Maksudnya?"

"Kepulanganku karena Ibu. Jikalau Ibu tidak memaksaku pulang, mungkin saja aku sudah bisa menciptakan mimpi-mimpiku. Tapi Ibu memaksaku pulang, jika aku menolak maka bukan baktinya yang ku dapat, tapi murka Allah, pastinya Allah tak meridhai langkahku sebab orang tuaku tak meridhai."

"Bukankah kamu bisa menjelaskannya baik-baik!"

"Ini bukan suatu perkara mudah bang. Ini masalah anak dengan orang tua. Ibuku sudah tak mungkin bisa kembali ke Jakarta, dan aku sebagai anak perempuan satu-satunya tak bisa membiarkannya hidup dan menua sendiri. Ia yang telah melahirkanku, jerih payahnya, membawaku selama 9 bulan di perutnya. Setelah aku lahir ia merawatku hingga dewasa, akupun masih bergantung padanya. Lantas apakah aku tega sebagai seorang anak membiarkannya hidup sendiri di kampung. Ya memang, Ayah sering pulang, tapi bukankah yang dibutuhkan Ibu itu adalah anaknya?"

Hasan terdiam. Sesekali diliriknya gadis yang kini berada di sampingnya, kemudian berucaplah ia dalam hati "Sungguh wanita ini Subhanallah"

"Bang jikalau boleh tau, mengapa kamu menerima perjodohan ini?" Ucapnya membuyarkan lamunan Hasan.

"Jikalau kuceritakan kisahku, kau akan mengatakan aku lelaki yang penuh dengan masalah. Tapi maaf aku tak bisa menceritakan padamu, masa lalu biarlah menjadi album yang tak akan kubuka lagi, aku telah berjanji akan mulai membuka lembaran baru."

Lidar terdiam, ia paham mengapa lelaki itu tak ingin bercerita padanya. Seandainya ia ada di posisi pria itu pastilah rasanya enggan ia menceritakannya, sebab sangatlah sulit bercerita dengan mengenang-ngenang kesedihan yang amat dalam tiada obatnya. Jiwanya akan kembali hancur, sebab ia baru saja keluar dari kesedihan panjang, perjalanan yang terjal. Mana mungkin ia kembali harus melaluinya bahkan mengenang sesuatu yang bisa membuat ia kembali rapuh.

Asik berjalan di pinggiran pantai bersama dengan gelombang ombak, sepupunya datang memberikan kejutan, sebuah hadiah dari pengharapan doa yang selama ini ia curahkan dalam sujud panjangnya. Pria tampan dengan ke shalehannya. Berhari-hari, Berminggu-minggu, ia bermunajat kepada Allah. Untuk terakhir kalinya ia dipertemukan dengan lelaki yang pertama kali menggetarkan hatinya, sebelum ia menikah jikalau Hasan memang jodohnya.

Ternyata Allah mengabulkan doanya, ia bertemu dengan pemuda itu. Pemuda yang mencuri hatinya, pemuda yang membuat ia menentang akan perjodohannya dengan Hasan. Yang tak lain ia adalah sepupu Hasan, lelaki yang kini sedang menjalani proses ta'aruf dengannya. Dunia memang sempit, inilah takdir sebuah perjalanan baru untuknya.

Saat itu dunia Lidar seakan runtuh. Rasanya ia ingin lari dari kenyataan yang menghancurkan kebahagiannya. Bagaimana bisa setelah ia mencoba ikhlas, justru ujian hati menimpa dirinya.

Apa yang saat ini dirasakan gadis itu adalah neraka baginya. Membingungkan, menguji hatinya seakan cobaan itu mempertanyakan kesanggupannya dalam menghadapi kenyataan bahwa ia akan menikah dengan sepupu Surya. Kisah cintanya persis seperti Hasan. Jika kepedihan Hasan berkaka Ipar orang yang ia cintai, maka dirinya menikah dengan sepupu orang yang ia cintai.

Ia kira takdir telah menjauhkan jarak antara ia dan Surya dengan melabuhkan Hasan untuknya. Namun pada kenyataan nasib buruk akan cinta merobohkan perisai pertahanannya. Menghadirkan seseorang yang ada dalam setiap doanya, dalam waktu yang dianggapnya tidak tepat.

Namun fikirannya meraba akan perjalanan hidup Hasan, sekali lagi membuatnya sadar akan ikhlas yang sudah ia ucapkan pada Ibu, Abangnya Udin dan terutama pada dirinya sendiri. Meski kini hatinya menangis akan takdir yang terpaksa ia pilih, dan bahagia akan pertemuannya itu.

Jika pertemuannya dengan Surya menggoyahkan hatinya, maka perjodohan itu pastilah batal? Jikalah batal, itu berarti ia lah yang membuka lembaran lama Hasan, dengan kepahitan serta penderitaan yang belum usai. Atau bisa jadi lembaran baru hidup Hasan memang ditakdirkan menderita. Ia tak tega melakukannya.

Pria yang menjadi sepupu Hasan terkejut saat wanita yang ada dihadapannya adalah Lidar, gadis yang pernah ia iringi pulang saat hujan lebat. Gadis yang juga membuat jantungnya bergetar hebat. Rupanya diam-diam pria itu menyimpan hati kepada Lidar, sejak kepulangannya sehabis menghantar Lidar, ia terbayang akan sosok Lidar. Namun dibuangnya jauh-jauh perasaan itu, sebab ia tak boleh memikirkan wanita yang belum tentu akan berjodoh dengannya.

Namun hatinya berbunga-bunga ketika kembali dipertemukan dengan cara tidak sengaja. Tapi sayang hatinya langsung surut, ketika ia baru sadar bahwa Hasan sepupunya lah yang sedang melakukan proses ta'aruf itu bersama dengan Lidar.

Namun lelaki dengan berkaca mata itu, membuang muka ke arah air laut. Diaturnya detak jantungnya, agar ia bisa menerima kenyataan yang tak masuk akal itu. Sebuah jarak yang membentang antaranya dengan Lidar sangatlah jauh, sehingga tak memberikan jembatan untuk menyebrang ke dalaman hati gadis yang ia sebut dalam do'anya.

Seberapa kuatkah Lidar maupun Surya menahan perasaannya?

Bisakah Lidar melawan rasa yang memerangi hatinya?

Terlalu banyak rintangan yang telah dihadapi Hasan, Surya tau betul jika sepupunya itu baru saja pulih dari perjalanan cinta yang terjal. Mana mungkin ia merebut gadis yang mungkin saja bisa memulihkan hati Hasan, apa lagi Surya adalah lelaki yang mengerti agama.

Suara Hasan menyentakkan Surya.

"Oh iya Sur, kenalkan Ini Lidar, dan ini Udin sahabatku, yang juga Abang sepupu Lidar," Ucap Hasan memperkenalkan kepada Surya.

"Assalamuallaikum. Saya Surya, sepupu Hasan." Ucapnya.

Lidar dan Surya tampak canggung karena sebelumnya mereka pernah bertemu. Namun salah satu dari mereka tetap tak bersuara dan membuka mulut, jika mereka pernah bertemu sebelumnya. Karena baik Lidar maupun Surya tak ingin mengecewakan Hasan. Sebab mereka telah tau perjalanan dan kisah cinta Hasan yang memilukan.

Surya bersama Udin berjalan di belakang memandu Lidar dan Hasan. Ada rasa sakit yang tak tertahankan pada Hati Surya maupun Lidar. Namun inilah takdir mereka harus menerimanya.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 216).

Muaro Cinta di Ranah Minang (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang