Bertemu Surya

2.7K 69 3
                                    


TELAH sampailah ia di tanah kelahirannya Korong Koto Rajo, Sunur Tengah, Kabupaten. Padang Pariaman. Terkagum-kagumlah dia disepanjang perjalanan, dari Bandara Minang Kabau menuju kampung halamannya yang menempuh jarak sekitar 1 jam jika menggunakan motor. Hutan, ilalang, rerumputan menjulang tinggi, bentangan sawah yang mulai menguning, kerbau, kambing yang hilir mudik di tengah jalan, menambah indahnya keelokkan Padang Pariaman ini. Udaranya bersih, angin segar serta pemandangan yang membuat matanya tak jemu-jemu. Berbeda sekali dengan pemandangan yang selama 25 tahun ia nikmati di kampung orang yang jauh diseberang pulau.

Sampailah ia di rumahnya Korong Koto Rajo atau orang menyebutnya Pulau Aia. Berkumpulah seluruh sanak saudara memenuhi halaman rumahnya kamanakan-kamanakan, adiak-adiak, mande, bako, dan seluruh dunsanak menyambutnya bak ratu yang baru saja mendarat dari Negeri seberang. Ia tak menyangka mendapat sambutan yang luar biasa, laksana artis papan atas. Seketika ia menyalami satu persatu mande-mande, mamak-mamak, dan urang sakampuang yang badunsanak dengannya. Senyum mengembang menyambutnya, bagaimana tidak, gadis muslimah yang tidak pernah menginjakkan kakinya di kampung halamannya, pergi dalam badungan Amak pulang dengan tittle Sarjanahnya. Hanya sesekali hadiah sampai ke kampung halaman setiap tahunnya, untuk mande-mande yang selalu ia kirim sebagai hadiah THR.

Awalnya ia bahagia diperlakukan bak ratu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Apa yang ia khawatirkan mulai terjadi, ia menjadi penganggurang, tak ada pekerjaan yang ia dapat, meski sudah bolak-balik antara Padang dan Pariaman. Begitupun perlakuan dari urang-urang disekelilingnya, datang dielu-elukan bagai ratu, setelah berbulan-bulan diacuhkan. Bukan orang tak suka dengannya atau benci dengannya. Namun berbeda dengan dahulu orang cadiak, bertittle (Pandai) akan di pandang hebat, namun berbeda kini orang bertittle lulusan sarjanah jikalau tak ada uang tak ada gunanya.

Sekilas ia memandang keluar, saat banyaknya pikiran negatif menari-nari di otaknya. Terlintas di pikirannya bagaimana jika setelah satu tahun ia menetap di Padang Pariaman ini, ia justru tetap tidak bisa mengikuti adat yang terlalu mengekang hidupnya. Dengan aturan-aturan yang tidak masuk akal.

Ini bukan perkara mudah, bukan sekedara perjodohan yang berakhir di pelaminan. Bukan sekedar wanita harus pandai memasak, jika tidak akan berakhir dengan perceraian. Tentu di adat Minang segala sesuatunya harus sesuai tuntunan al-Qur'an dan adat, Islam yang begitu kental menambah indah adat Minang ini. Sehingga sopan santun sangat dijunjung tinggi, adat istiadat menjadi nomor satu, semua berporos pada satu kitab yaitu al Qur'an.

Permasalahannya adalah ia tidak ingin berakhir seperti Cuniangnya yang harus menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal. Pada akhirnya itu menjadi Pernikahan karena adat bukan adanya rasa yang timbul diantara kedua belah pihak.

Gadis itu menempis jauh-jauh pikiran buruknya, akan adat yang belum ia kenal. Ia hanya butuh penyesuaian, jika terus dipikirkan akan menimbulkan nuansa kekhawatiran yang belum pasti terjadi.

Lama ia bermeditasi dengan dunianya, matanya melirik sekilas ke langit-langit. Berharap cuaca hari ini bersahabat dengannya. Maka berangkatlah dia mengendarai motor tuanya yang tertenggek rapi di gudang samping rumahnya.

Berangkatlah Lidar menuju kampung halaman Ayahnya yang terletak di olo, tak jauh dari rumahnya kira-kira menempuh perjalanan 2 kilo. Pergilah ia ke sana untuk melepaskan penat, karena mendengar desas desus orang-orang yang asik membicarakan dirinya. Di perjalanan menuju Olo, langit tiba-tiba gelap petir menyambar seakan lelah dengan keadaan isi perut Bumi yang semakin memuakkan. Ia kemudian menepikan sepeda motornya disebuah lepau yang sudah tutup.

Hujan semakin deras mencegahnya untuk tidak mengangkat kaki dari tempat itu. Rasa kesal karena harus terjebak di tempat yang tidak ia tau, membuat Lidar membuang pandangannya ke pematangan sawah yang padinya mulai menguning.

Hampir satu setengah jam ia berdiri di sana, namun hujan tidak membiarkannya pergi. Sementara langit semakin kelam, jalanan tampak sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar dari semak-semak belukar. Tak berapa lama suara motor tua, berhenti di lepau tempat ia berteduh. Saat itu jantungnya berdegub kencang, Lidar membenarkan posisinya untuk mencari perlindungan jika sewaktu-waktu orang itu berniat jahat dengannya. Sebuah kayu disandarkan di sisi pintu lepau, ia berdiri di sana sesekali dipegangnya kayu itu.

Langit yang mulai gelap, hujan yang belum juga reda, di tambah tempat yang sangat sunyi sulit dijangkau oleh orang yang berlalu lalang. Menambah rasa khawatir di hati Lidar. Berulang kali ia terus berucap menyembut asma Allah sambil berdzikir meminta pertolongan Allah.

Sementara lelaki itu terus menatap hujan yang menitik dari pelepah mangga (daun kelapa) yang dirakit menjadi atap lepau, ia menampung air hujan itu dengan kedua tangannya, sambil memandang ke langit. Bibirnya tersenyum sungguh saat itu Lidar yang berdiri di sampingnya dari kejauhan, berderulah hatinya, rupanya ia diam-diam mengagumi ketampanan lelaki yang berada didekatnya itu. Astaghfirullah..... dibuangnya jauh-jauh pikiran kotornya itu.

Rupanya pria itu membawa jaket hujan di bagasi motornya. Namun ia ragu untuk memakainya, melihat seorang wanita menunggu di bawah atap lepau bermandikan hujan dalam keadaan sudah gelap, ditambah adzan maghrib yang sudah berkumandang. Diteleponlah labai Mesjid tempat ia mengajar mengaji, bahwa ia tak bisa mengajar karena terjebak hujan. Ia bisa saja pergi tanpa memperdulikan wanita itu, namun bagaimana jika ada orang jahat mengerjainya. Ia hanya tak tega, sebab ini adalah bentuk kemanusiaan untuk melindungi kaum wanita.

Awalnya pria itu diam saja tak mengeluarkan suara, kemudian timbullah keberanian untuk menanyakan kepada Lidar.

"Maaf Uni, jika boleh tau hendak ke mana Uni ini? Hari sudah kelam, tak elok wanita berjalan jam segini."

"Saya hendak ke Olo tempat kediaman Nenek saya. Tapi diperjalanan rupanya hujan sangatlah lebat. Sudah satu setengah jam hujan belum juga reda." Ucapnya menundukkan kepalanya.

"Jika Uni bersedia saya akan membantu mengiring Uni sampai rumah. Sebab tak elok wanita berjalan sendiri apa lagi jalanan di sini sunyi dan kelam. Tapi lebih eloknya kita mencari Masjid yang terdekat dulu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Jika boleh tau, di manakah Uni tinggal?"

"Tapi?" Ucapnya ragu.

"Jangan takut, saya tidak akan berbuat jahat dengan Uni. Nama saya Surya, jika ada apa-apa Uni bisa melaporkan saya."

"Baiklah, saya tinggal di koto Rajo."

"Hujan sudah mulai reda berjalanlah Uni duluan, saya akan mengiring Uni dengan motor saya dari belakang. Kita akan berhenti di Mushola yang ada di ujung sana, dekat dengan pematangan sawah."

Tibalah Lidar dan Surya di mushola, merekapun langsung melaksanakan shalat Maghrib. Usai shalat berangkatlah Lidar menuju rumah di iringin oleh Surya di belakangnya.

"Terima kasih Uda, atas perbuatan baikmu itu. Jikalau nanti kita bertemu kembali, maka aku akan membalas niat baikmu itu."

Surya hanya tersenyum kemudian memutar motornya menuju Koto Marapak karena jalan melewati Koto Rajo sangatlah kelam tidak berlampu dan harus melewati hutam rimba. Sementara Lidar masih berdiri hingga tak terdengar lagi suara motor tua yang dipakai oleh Surya. Jantungnya berdegub kencang, sebab belum pernah ia merasakan jatuh cinta sedahsyat itu.

Surya, pria remaja. Indah akhlaknya ciptaan Tuhan dengan keelokan budi pekertinya. Sebuah nama yang indah seperti Surya yang mampu menyinari alam dan seisinya. Ia tak hanya tampan, namun ia juga pandai mengaji. Terbukti, ia sebagai guru mengaji, suaranya indah saat melantunkan ayat-ayat suci, siapapun yang mendengar akan terbius dengan suaranya. Surya menggambarkan lelaki Minang yang sebenarnya, lulusan Universitas Al Azhar dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk berdakwah, salah satunya mengajarkan anak-anak mengaji dan dosen di sebuah Universitas di Padang. Tampang buliah rancak, namun hati haruiah lah elok. Itulah Surya pria yang diperebutkan oleh kapalo suku, datuak-datuak untuk dijadikannya dengan anak atau kamanakannya.

Muaro Cinta di Ranah Minang (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang