Pantai Tiram

2K 54 9
                                    

LIDAR masih terbaring di atas tempat tidur, tubuhnya rasanya berat untuk ia dudukkan. Pikirannya masih kalut akan perjodohan yang direncanakan oleh Ibu dan Ongganya, begitupun Ayahnya yang sudah mendesak menginginkan cucu dari nya, mengingat umur Ayahnya yang sudah tidak muda lagi.

Lidar terduduk pada pojok kasur, ia membayangkan lelaki sholeh yang pernah mengantarkannya pulang. Namun lamunannya seketika Buyar saat Cuniang (Kakak sepupu) masuk ke dalam kamar dan menarik pergelangan tangannya untuk menjauh dari ranjang tidurnya.

"Cepatlah mandi, kita ke pantai kamu butuh refresing!"

"Tidak aku letih."

"Tak usah kamu pikirkan masalah perjodohan itu Dar, pada akhirnya kamu akan sakit sendiri nanti."

"Bagaimana tidak aku pikirkan Niang, aku tak suka dengan perjodohan ini. Aku menyukai pria lain yang tidak aku tau di mana tinggalnya."

"Lidar...Lidar semua yang ada di dunia ini sudah digarisi oleh Sang Khalik, serahkan semua pada-Nya, jika kamu berjodoh dengannya pasti akan bertemu, jikalau tidak akan ada pengganti yang lebih baik darinya."

"Apa salah jika aku mengharapkan lelaki baik-baik! Selama ini aku menjaga diriku, agar kelak bisa kudapatkan lelaki sholeh. Aku ingin seperti Fatimah putri Rasulullah SAW yang tidak pernah dimadu oleh Saidina Ali."

"Kamu jangan sombong Dar, kamu kira di mata Allah kamu sudah begitu baik? Baik bagimu belum tentu bagi Allah. Hanya Allah yang punya kuasa atas semuannya, termasuk jodohmu. Mengharapkan boleh, tapi jangan terlalu menggebu-gebu, nanti kamu akan sakit."

"Bukan begitu maksudku Niang. Aku hanya kecewa dengan keadaan yang aku alami."

"Jika kamu kecewa, apa yang terjadi denganmu. Berarti kamu kecewa dengan apa yang Allah takdirkan setiap detiknya dalam hidupmu."

Lidar terdiam, ia tertunduk lesu.

Apa yang dikatakan oleh Cuniangnya benar adanya. Kenyataannya ia tak bisa menerima, cerita hidup yang kini menghampirinya.

Sementara dalam diam, gadis itu berusaha mengumpulkan kepingan keberanian untuk mengungkapkan kata maaf.

"Maafkan aku Niang," Ucapnya dengan suara parau.

Cuniang tersenyum, kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah Lidar. Ia tak punya hak untuk marah kepada adik sepupunya itu, dengan ucapan Lidar yang sangat putus asa, bukan berarti ia harus mengeliminasi Lidar sebagai adik sepupunya. Karena setiap orang memiliki titik jenuh, di mana ia sedang dalam hati yang tidak baik.

"Jangan meminta maaf pada Cuniang, tapi minta maaflah kepada Allah."

***

Lidar dan Cuniang pergi menuju pantai Tiram menggunakan motor tua yang tertenggek di gudang samping rumahnya. Motor itu melaju melewati Ulakan dan terus menuju Tapakis hingga tibalah mereka di Pantai Tiram melewati hamparan pasir yang membentang menghiasi lautan biru. Pulau-pulau di ujung laut tampak indah dilihat dari seberang, berdiri kokoh bersatu dengan alam.

Jalan yang sepi menambah keindahan pinggiran pantai dengan anak-anak kecil berkejar-kejaran dengan sepedanya, Amak-amak dan nelayan berbincang ria di atas perahu yang menepi. Tampak di sepanjang jalan pantai, pohon-pohon cemara berdiri kokoh menambah keindahan panorama Alam di Pantai Tiram yang terletak di Kabupaten Padang Pariaman itu. Alamnya yang masih asri tak tersentuh oleh ulah tangan manusia, air laut yang biru tak tersentuh oleh limbah sampah, burung berkicau di sore hari menentramkan hati yang dilanda kegelisahan.

Muaro Cinta di Ranah Minang (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang