Perempuan lain

1.3K 70 4
                                    

Adrian berang sekali ketika mendengar adiknya membuka hatinya untuk bajingan Spanyol itu dari Ario. Akhir pekan itu ia terbang ke New York. Mendatangi rumah adiknya. Dan terkejut melihat keadaan Sofia.

Sofia sedang disuapi Bik Ira di ruang tengah. Tangan kirinya sedang tidak bisa digerakan. Adrian langsung memeluk adiknya.

Adrian semakin kaget ketika adiknya tidak memberi respon apa-apa. Tidak membalas memeluknya. Hanya matanya menatap getir kakaknya.

Bik Ira langsung pergi. Ia sudah berjanji kepada Sofia untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang penyakit yang dideritanya. Adrian melirik obat-obatan yang tergeletak di meja.

Adrian bukan seorang dokter. Tetapi melihat betapa banyaknya obat yang dikonsumsi adiknya, ia tahu adiknya mengidap penyakit yang parah. Adrian menatap ke adiknya lagi. Dan lagi-lagi ia terkejut.

Sofia tersedak. Ia tidak bisa menelan. Makanan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Cepat-cepat Adrian membersihkan mulut adiknya dengan tisu.

Meski adiknya tidak bicara, Adrian dapat merasakan kesakitan adiknya. Air mata Sofia menetes.

"Kamu kenapa, Sofia?" tanya Adrian sedih.

"A-a-ku ti-dak a-pa a-pa," gagap Sofia menyahut. Demi Tuhan, ia berharap kakaknya tidak berada di depannya. Ia sakit sekali melihat kesedihan yang ada di mata Adrian.

"Tolong katakan padaku, Sofia. Kamu sakit apa? Kamu tidak apa-apa, kan?"

Percuma Adrian bertanya. Sofia tidak mau menjawabnya. Adrian mendesak Bik Ira. Tetapi pembantu Sofia itu lebih memilih bungkam. Tidak ingin mengkhianati majikannya.

Adrian kesal sekali hari itu. Ia duduk seharian di depan komputer yang berada di ruang tengah. Menulis di kolom cari nama-nama obat yang ia baca di kertas resep yang ia temukan di lemari obat di atas westafel dapur. Dan... taraaa... Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Parkinson?!

Adrian bergegas ke kamar Sofia dan bertanya untuk memastikan. Perlahan Sofia mengangguk.

"Ya Tuhan.." Suara Adrian melemas. Ia memeluk adiknya erat-erat. "Bagaimana bisa kamu menyembunyikan ini semua? Ini bukan penyakit sembarangan, Sofia."

"Aku tidak apa-apa," jawab Sofia. Kali ini ia bisa bicara dengan lancar. "Asalkan aku rajin minum obat, otot-ototku mudah digerakan. Kamu tidak perlu khawatir."

"Sofia........" Adrian mulai jengkel. Adiknya ini memang benar-benar keras kepala. Tidak peduli kekhawatiran orang lain. "Kamu sudah berobat? Siapa yang membiayaimu?"

"Adrian, kamu kira penghasilan kamu saja yang boleh tinggi?" Sofia tersenyum tipis, masih lemah. "Konserku kemarin membuahkan hasil, Adrian. Kamu tidak usah khawatirkan hal itu."

Adrian tidak peduli guyonan adiknya. Malam itu ia bertanya kepada Alano tentang keadaan adiknya. Alano tetap menghampiri Sofia setiap malam walaupun perempuan itu sudah tidak dirawat di RS lagi.

Mendengar penjelasan Alano, Adrian sedikit tenang. Alano mengesankan Parkinson bukan penyakit yang mengerikan. Jika penderitanya sering mengkonsumsi obat, mereka bisa beraktivitas seperti biasa.

Kebencian Adrian terhadap Alano mulai berkurang. Sedikit. Adrian belum bisa lupa bagaimana kehancuran adiknya saat ditinggal lelaki Spanyol itu. Tetapi ketika dilihatnya Alano tertidur di sofa ruang tengah, Adrian merasa kagum.

Tidak salah Sofia mencintai Alano. Alano memang pria sejati. Malam itu Alano menyuapi Sofia. Membantunya untuk menelan obat. Dan memastikan Sofia tidur dengan nyaman. Ia sama sekali tidak memandang lemah kepada Sofia.

That One Person Who Loves Me (COMPLETED)Where stories live. Discover now