Chapter 1

5.3K 408 53
                                    

Namaku Armenita Azzalea Aminoto, putri bungsu dari pasangan Herman Aminoto dan Halida. Adik dari almarhumah Rizqieta Karunia Aminoto yang telah berpulang 6 tahun yang lalu karena penyakit kanker darah stadium 3. Jadilah aku sebagai putri tunggal di keluarga ini. Cukup sepi, tapi tidak sesepi itu karena dua sahabatku.

Aku tinggal di salah satu kompleks perumahan non subsidi di daerah Sidoarjo, tak jauh juga dari stadion Delta, Sidoarjo. Stadion bersejarah yang telah melahirkan banyak bintang ternama usai Indonesia menjuarai piala AFF U-19 tahun 2013.

Umurku 16 tahun, siswa kelas XI salah satu sekolah menengah atas di Sidoarjo. Satu kelas dengan dua punggawa Timnas yang juga sahabat baikku. Mungkin banyak orang merasa iri karena aku bisa sedekat ini dengan mereka. Aku pun merasa iri juga pada kalian karena kalian tidak akan menjadi tempat mereka mengeluh, sebab ketika mereka mengeluh, hatiku terluka.

Dua sahabatku itu namanya Brylian Negietha Dwiki Aldama, indah ya namanya? Aku suka memanggilnya dengan Bry. Dia berposisi gelandang di Timnas U-16 dalam berbagai turnamen. Yang kedua namanya Ernando Ari Sutaryadi, namanya Jawa banget yang belakang. Dan aku suka memanggilnya dengan Sutar. Ha ha ha. Tapi menyebutnya Sutar dalam narasi di cerita ini cukup menggelikan. Pahami saja dia itu Ernando, Ernando itu Sutar, Sutar itu Ernando. Posisinya Kiper.

Mereka berdua sudah berhasil membawa pulang dua piala untuk Indonesia dalam dua turnamen internasional. Di Vietnam dan di Jepang, dan aku bangga akan itu.

"Besok kita berangkat TC, Za," ucap Brylian yang menyenderkan kepalanya di bahu kananku.

Aku biasa dipanggil Azza atau dua sahabatku ini biasa menyebutnya dengan Za.

Kami sedang menikmati hembusan angin pukul 10.12 WIB di salah satu lapangan sepakbola dekat dengan kompleks perumahan kami. Beda nama kompleks sih, tapi rumah kami berdekatan, tak sampai satu kilometer lah.

"Iya, jauh lagi kita, Za," sambung Ernando di bahu kiriku.

Kami memang cukup dekat, kami selalu bersama sejak SD kelas 1. Waktu itu kami di kelas yang sama, Ernando pindahan dari kota Semarang, aku pindahan dari Kota Surabaya dan bertemulah dengan Brylian di Sidoarjo. Mama kami pun saling bersahabat, apalagi kalau untuk urusan menghabiskan uang Papa untuk berbelanja, mereka akan kompak sekali.

Kami hampir tidak pernah terpisah, kecuali ketika Ernando harus kembali ke Semarang untuk diklat PPLP Jateng, juga ketika Brylian harus ikut PPLP Jatim juga di JSSL Chelsea FC. Itu waktu SMP mungkin, tapi setiap berapa bulan sekali kami selalu bertemu. Eh, SMA masih satu tempat lagi dan satu kelas lagi kita.

"Ya udah sih, masih di Sidoarjo ini," balasku santai.

Bagaimana tidak santai? Dua sahabatku ini hanya akan TC di Sidoarjo menjelang pertandingan piala AFF U-16 dan Indonesia, khususnya Sidoarjo adalah tuan rumahnya. Paling juga nginep di mana sih, hotel juga nggak jauh pasti. Kalau TC nya di Jakarta tuh, bisa pusing aku.

"Nanti kamu samperin kita tiap hari ya?" Rengek Ernando mengangkat kepalanya tapi menatapku penuh harap.

"Iya, nanti tanya dulu sama Mama. Kalau Mama mengizinkan, tiap hari deh aku samperin kalian, aku tungguin deket gerbang hotel. Cuma ya itu, kalau Bigboss mengizinkan."

"Ah tenang aja, nanti aku mintain izin sama Tante Halida," seru Ernando.

Gayaan doang dia mah. Dia yang paling susah ngomongan sama Mama. Kadang, bisa jadi auto gagap waktu ngomongan sama yang lebih tua, terutama Ibu-ibu. Padahal dia mengenal Mama sudah lama, wajar kalau belum kenal ya jadi auto gagap, Mamaku loh, sudah dia kenal sejak kecil.

"Iya, ntar aku mintain izin sama Tante, gampanglah itu," sahut Brylian.

Nah kalau Brylian aku percaya, dia sering bercanda dengan Mama, dia bahkan sering iseng sama Mama, sejak kecil malah. Tapi dia tetap sopan kok sejak dulu, meski dari segi kehalusan tetap lebih halus Ernando, mungkin karena dia orang Semarang, tutur bahasanya saja lembut, kaya putri Solo. Eh Solo sama Semarang jauh ya? He he he.

Kami kembali menikmati langit-langit Sidoarjo, kota yang dulu sempat geger karena lumpur Lapindo, bukti kuasa Tuhan bisa melenyapkan manusia secepat yang Dia mau.

"Jadi inget Mama," seru Brylian dengan wajah sedihnya.

Mamanya Brylian memang telah berpulang, dan itulah semangat terbesar dan kelemahan terdalamnya. Mamanya adalah segala-galanya bagi Brylian. Dia berjuang untuk membahagiakan Mamanya di surga dan dia berulang kali jatuh sebab dia berjuang tanpa Mama yang selalu ada dimanapun dia bertanding.

Aku, Ernando, Mama dan Mamanya Ernando merasa kehilangan sekali waktu itu, tapi lebih kehilangan lagi seorang Brylian dan Papanya. Mama waktu itu menangis sejadi-jadinya karena kehilangan sahabat tapi Brylian sampai tidak bisa menangis lagi, sebab hatinya terlalu perih waktu itu. Sekarang-sekarang ini baru dia sering menangis ketika ingat Mamanya. Brylian selalu saja berhati lembut mengenai Sang Mama.

"Tante pasti tenang di atas sana, Tante pasti bangga banget karena anaknya bisa bermain satu tim dengan kiper ganteng macam aku ini," seru Ernando yang selalu menjadi penghibur yang baik diantara kami. Jadi paling repot kalau dia galau, nggak ada yang bisa menghibur, untungnya belum pernah galau sampai butuh hiburan. He he he.

"Ah dasar Sutar!" Sambil menempeleng kepala Ernando di bahu kiriku.

"Eh, seriusan, dulu yang bilang aku ganteng itu cuma Almarhumah Mamamu, Mamaku aja nggak pernah bilang aku ganteng," katanya.

"Iya, Mama kamu bilang, kamu cantik," canda Brylian.

"Dasar! Aku pulang dulu lah, mau les privat siang ini aja. Nanti malem tinggal tidur," kataku berdiri. Padahal dua kepala itu masih ada di bahu kanan dan kiriku, alhasil ya mereka terpelanting.

"Ihhh, pasti deh kalau pas libur atau pulang pagi selalu saja les privatnya diganti siang, biar sorenya bisa ngerjain tugas, malemnya tidur," ujar Brylian agak kecewa.

"Iya nih, kebo abis! Jam 7 udah tidur," sambung Ernando.

"He he he."

Begitulah mereka, paham sekali tentang aku. Aku yang nggak tahan tidur terlalu malam, paling malam ya jam 21.00 WIB, terpaksa karena tugas dan harus belajar, kalau nggak kuat, mending bangun jam 03.00 WIB buat belajar daripada harus nahan ngantuk di malam hari.

"Ih, yang penting kewajiban sebagai pelajar nggak aku tinggalkan."

"Hemmm iya iya, yang mau masuk fakultas kedokteran!" Celetuk Ernando.

"He he he."

Aku memang ingin masuk fakultas kedokteran, entah jadi dokter atau fisioterapis, yang pasti aku ingin kelak bisa menjadi bagian dari Timnas Indonesia, agar selalu bersama kedua sahabatku dan bisa ikut berjuang untuk nama baik bangsa. Keren kali jadi Dokter atau Fisioterapisnya Timnas, bisa ketemu setiap waktu sama pemain Timnas.

"Ya tapi belum puas kita ketemu sama kamu, Za. Besok udah pisah tau," kata Brylian.

"Ya mau gimana lagi, aku juga sudah capek, butuh istirahat, kalian sih enak, akademik standar nggak masalah, nggak ngejar kedokteran."

"Yah, dia bilang enak jadi kita, Bry. Eh, kita mah lebih berat lagi dari kamu, Za."

"Nah bener itu, Pak Sutar. Kita loh harus berjuang demi bangsa tapi juga tetap seorang siswa. Akademik harus tetap bagus, jelek ya nggak baik kelas kita."

"Nah, berat juga kita, Za. Sudah berjuang untuk bangsa masih harus kejar nilai akademik."

"Oke oke, kalian luar biasa," pujiku kurang ikhlas. "Ya tapi karena itu kalian harus pulang istirahat buat TC besok."

"Iya, harus packing juga." Ernando menggendong tas hitamnya.

"Iya, belum lagi tugas yang harus dikumpulkan besok banyak lagi," sahut Brylian.

Aku mengangkat kedua alisku.

Pada akhirnya kami berpisah di jalanan menuju kompleks rumahku, hanya aku yang terpisah, mereka sih satu kompleks bahkan hanya berselang berapa meter saja.

🔻🔺 TO BE CONTINUE 🔺🔻
KOMENTARNYA JANGAN NEXT AJA YA
KADANG IDE HADIR JUGA KARENA KOMENTAR KALIAN
OKE?

TriangleWhere stories live. Discover now