She knows

130 32 18
                                    


Flashback

"Maafkan aku!" Kata Jino sambil memelukku.

Aku tidak menjawabnya. Yang ada dipikiranku saat ini bukanlah soal benda itu melainkan Jino. Kurasa dia sangat terluka setelah menyadari kenyataan ini. Aku tau benda itu sangat berharga bagiku, dan baginya juga. Tapi, tetap saja dirinya jauh lebih berharga dari itu.

"Sungguh. Maafkan aku!" Katanya lagi yang semakin mempererat pelukkannya itu.

Dari sikapnya itu aku bisa menyelami apa yang ada didalam hatinya. Memang aku tidak melihat siapa orang itu, tapi aku tau bahwa Jino melihat orang itu dengan jelas. Dan betapa hancur hatinya saat ia menyadari sebuah kesalahan karena sudah menempatkan perasaannya pada orang yang salah.

"Sudahlah. Setidaknya sekarang kau sudah tau maksud dan tujuannya mendekatimu. Kau lihatkan? itu bukan cinta!"
Tegasku padanya sambil melepaskan tangannya yang sedang memelukku.

"Aku akan mencarinya dan mendapatkan kembali benda itu" Katanya sambil menatapku dengan tatapan penuh keyakinan. Dan dari tatapannya itu tersirat beribu makian seolah dalam dirinya dia tak berhenti mengatakan "Mona, kau brengsek!".

Setelah mengatakan hal itu, dia hendak menghilang lagi tapi kali ini aku mencegahnya.

"Jangan bertindak bodoh. Kau mau mencarinya dimana? Kau pikir batinmu akan menemukannya? Kau pikir dimensi ini kecil?" Tanyaku berharap dia mengerti maksudku.

Firasatku mengatakan hal ini ada sangkut pautnya dengan Rudolf. Dia satu-satunya orang yang sedang mengincar benda itu. Batinku berpikir keras untuk hal itu, tapi sepertinya aku masih butuh bukti yang kuat agar bisa mempercayai firasatku saat itu.

"Sebaikknya kita kembali dan memikirkan cara untuk mendapatkan benda itu kembali.

Jino kemudian membawaku menghilang. Aku pikir Jino akan membawaku pulang tapi ternyata dia membawaku kesuatu tempat yang sudah lama tak kami kunjungi. Dia membawaku ketempat penuh kenangan. Kenangan masa lalu kami bersama orang yang kami cintai.

Ia memegang tanganku lalu menariku menuju kesebuah piano. Dari gerak-geriknya aku tau. Dia ingin aku menghiburnya.

"Bisakah kau memainkannya?" Katanya tepat seperti yang kupikirkan.

Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau melakukannya. Aku tidak ingin melakukan apa yang dimintanya karena aku tidak bisa. Bukan karena aku tidak tau cara memainkan piano, tapi karena aku sudah mengubur cara untuk memainkan itu dan sekarang aku sama sekali tidak terpikir untuk membangkitkan cara itu lagi. Aku tidak mau kenangan merasuk dalam diriku lalu membangkitkan dukacita yang kurasakan di masalalu. Beliau selalu memainkan ini dan semua kenangannya tersimpan disini. Aku sudah berjanji, aku tidak ingin menyatu lagi dengan kenangan itu. Biarlah kenangan itu tersimpan didalam hati, karena bagiku itu sudah lebih dari cukup.

Aku tidak menjawabnya. Aku hanya menatapnya dalam dan berusaha menyalurkan apa yang ku maksudkan tadi. Tapi tatapanku itu sia-sia. Dia tidak mengerti maksudku malah memintaku lagi untuk memainkannya. Dan aku masih tetap tidak mau. Dia memintaku lagi. Aku menolaknya. Memintaku lagi dan aku tetap menolak permintaanya dengan terus menggelengkan kepala. Dan kali ini dia berhenti.

Dia menatapku lagi dalam beberapa detik kemudian ia beranjak menuju kebelakang piano. Dia lalu menunduk. Sepertinya dia sedang mengambil sesuatu. Setelah mendapatkan apa yang dimaksudkannya, diapun menghampiriku lalu menyodorkan sebuah kotak.

"Bukalah!"

Aku mengambilnya dan membuka. Mataku terbelalak setelah melihat benda yang ada didalam kotak itu.

"Apa__" Baru saja aku hendak menanyai hal ini, dia langsung menjawab seolah dia sudah tau apa yang hendak ku tanyankan.

"Ini milik beliau"

One Soul (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang