Part 33

6.6K 513 41
                                    

 “Zayn!”

 Zayn mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menoleh ke asal suara, kemudian senyumnya mengembang ketika melihat Petr Cech berjalan beberapa langkah di belakangnya. Pria itu membawa tas selempang adidas seperti yang biasa dibawa Zayn saat latihan maupun tanding.

 “Hey,” kata Zayn begitu Petr sudah berada di sampingnya. “Kenapa datang terlambat? Biasanya kau yang paling tepat waktu,” Zayn tersenyum kecil.

 “Harus mengantar istriku ke rumah pamannya,” Petr mengangkat bahu. “Lagipula, aku tidak terlalu dibutuhkan lagi sepertinya. Thibaut mengambil alih tempatku. Sepertinya sangat kecil kesempatanku untuk tetap menjadi kiper utama.”

 Zayn menepuk pundak Petr penuh simpati. “Ah, hanya pikiranmu saja,” katanya ringan. “Buatku, kau tetap kiper terbaik, Petr. Kau sudah banyak berkorban buat klub ini. Aku yakin mereka tidak akan membiarkanmu pergi.”

 “Kuharap begitu.”

 Zayn tersenyum. “Yah, kuharap juga—“

 Zayn.

 Zayn mengerutkan keningnya samar. Ia merasa ada seseorang yang memanggil namanya seperti minta tolong, tetapi saat melihat sekeliling, orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tidak ada yang memanggil nama Zayn.

 Zayn.

 “Zayn?”

 Zayn menoleh ke arah Petr. “Ya?”

 “Kau baik-baik saja?”

 “Ya,” Zayn mengangguk walaupun masih agak bingung. Zayn melihat Jose Mourinho sedang melambai ke arahnya, seperti memberi isyarat kepada Zayn untuk menghampirinya. Yah, paling hanya Jose, gumamnya dalam hati. “Aku kesana dulu, ya?”

 Petr tersenyum singkat. “Oke.”

 “See you later, Petr.”

 “See you, Zayn.”

***

 Katya menjerit saat melihat Ethan jatuh tersungkur di atas karpet. Cowok yang meninju wajah Ethan tadi berjongkok. Ia meraih kerah baju Ethan, kemudian berbicara dengan nada tajam di telinga Ethan.

 “Jangan ganggu adikku.”

 Tunggu. Adikku?

 “Aaron?”

 Katya tidak berani berharap. Ia benar-benar tidak berani berharap sampai cowok itu berbalik dan menatap Katya lurus-lurus. Katya yakin ia melongo selama beberapa detik saat melihat mata abu-abu milik cowok itu. Katakan ini bukan mimpi. Katakan ini bukan mimpi...

 “Katya, ini aku. Kau melupakanku, eh?”

 Katya langsung memeluk Aaron hingga kakaknya itu nyaris terjungkal. Katya menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia menangis karena Ethan, ia menangis karena ternyata kakaknya masih hidup, dan ia menangis karena merindukan kakaknya sampai seluruh tubuhnya terasa sakit.

 “Aaron,” kata Katya sambil sesenggukan. Katya mencengkram kaus belakang Aaron saat memeluknya, meninggalkan bekas kusut di belakang sana. “Aaron, kukira kau....mereka bilang padaku kalau kau—“

 “Ya, aku tahu,” gerutu Aaron. “Bunker yang kuselidiki malam itu meledak. Saat itu aku hanya berjarak 50 meter jauhnya dari bunker, dan untungnya aku berdiri di dekat danau. Jadi aku masuk ke dalam danau, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.”

 Katya masih tidak mengendurkan pelukannya. “Lalu baju itu....surat....uang.....semuanya? Astaga, Aaron. Kau benar-benar membuatku takut. Astaga. Astaga aku sangat senang kau ada disini sekarang,” gumam Katya.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang