Part 14

7.7K 589 31
                                    

 Katya melirik jam besar yang ada di salah satu tiang penyangga stasiun besar itu. Jam 7 pagi, sedangkan kereta Katya berangkat jam 8 tepat. Katya duduk sendirian di tengah stasiun yang ramai oleh orang-orang yang akan berpergian entah kemana. Ia menatap semua yang ada di hadapannya dengan tatapan kosong, seraya menerawang.

 Katya tidak tahu kenapa, tetapi ia merasa ada yang salah. Ia merasa ada yang hilang. Ia merasa sebagian dari dirinya telah diambil darinya. Katya tidak tahu kenapa, tetapi rasanya sungguh-sungguh menyedihkan. Katya jadi ingat satu baris kalimat dari buku yang ia baca semalam.

 Kenapa sangat sulit menggapainya padahal dia sangat dekat?

 Zayn Malik. Nama itu seolah-olah memenuhi semua bagian otaknya. Katya bisa langsung merasakan jantungnya yang berdegup semakin cepat saat seseorang menyebut nama itu. Katya bisa merasakan darahnya berdesir, perutnya tergelitik, dan hal-hal lainnya yang ia tidak pahami.

 “Aku menyayangimu, Kat.”

 “Apa aku harus kehilangan kau?”

 “Maafkan aku.”

 Astaga, Katya bisa gila kalau begini caranya. Kau terlalu memikirkan semuanya, kata Katya pada dirinya sendiri. Tenanglah, maka segalanya akan baik-baik saja. Ya, ia berharap segalanya akan baik-baik saja kalau otaknya yang bodoh tidak memaksa untuk memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya.

 Katya jelas-jelas terlahir tanpa Zayn disisinya, kenapa sekarang sangat sulit untuk menjalani hidup tanpanya?

***

 Rumah mungil di samping rumah Zayn itu kosong, entah sudah berapa lama.

 Zayn kangen aroma masakan yang ia cium setiap pagi dari depan pintu rumah itu. Zayn kangen dapur kecil tempat ia dan seseorang biasa menghabiskan waktu bersama. Zayn kangen sofa ruang tengah yang menjadi tempat seseorang tertidur di pundaknya. Zayn kangen seseorang yang dulunya menempati rumah itu.

 Sekarang, seperti yang ia biasa lakukan, Zayn hanya bisa duduk di tangga terendah rumah itu, dan tidak melakukan apa-apa kecuali menatap jalanan di depannya. Zayn seperti orang gila. Setiap pagi ia pergi kesana. Sepulang latihan ia juga pergi kesana. Bahkan sehabis tanding ia tetap pergi kesana, berharap seseorang yang tinggal di sana datang dan membukakannya pintu.

 Performa Zayn juga akhir-akhir ini menurun. Dalam 7 pertandingan, tim mereka hanya memenangkan 2. Zayn hanya mencetak 1 gol, itupun gol penalty. Mr. Benitez bahkan sempat memanggilnya beberapa saat lalu—entah kapan karena Zayn bahkan lupa hari dan tanggal—dan berbicara tentang peforma buruknya.

 “Jangan biarkan masalah pribadi membuat performamu menurun, Zayn,” kata Mr. Benitez padanya. “Kau pemain muda yang sangat berbakat. Beberapa tahun dari sekarang, kau mungkin bisa setara dengan Cristiano atau Leo Messi. Yang perlu kau lakukan adalah, tambahkan usaha di setiap latihan. Jangan biarkan hal lain mengganggu konsentrasimu.”

 Zayn akhirnya memutuskan untuk mengambil kunci mobilnya dan pergi dari rumah itu.

***

 Katya hari itu sedang menunggu hasil interview kerja di The Churchill Hospital yang ia jalani beberapa minggu lalu. Katya berpakaian super rapi, rambutnya yang biasanya acak-acakan sekarang dikuncir dengan rapi. Ia memakai rok span sebatas lutut yang berwarna hitam, kemeja putih, serta blazer hitam. Ia memakai flat shoes hitam, karena tentu saja Katya bakal kesulitan memakai heels. No heels no problem, itulah motto nya.

 Udara cukup dingin walaupun sekarang sudah memasuki pertengahan bulan April. Artinya sudah kira-kira satu bulan Katya tidak bertemu dengan Zayn. Sudah satu bulan Katya kehilangan Zayn. Dan hidupnya benar-benar menyedihkan dalam satu bulan ini. Apalagi sekarang Katya tidak punya siapa-siapa di Oxford. Tidak ada Candace yang bisa mendengarkan segala curhatannya lagi.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang