Part 23

7.2K 552 22
                                    

 Dear Kat,

 Saat kau membaca surat ini, aku yakin sesuatu yang buruk telah terjadi kepadaku sehingga aku tidak ada untuk menyampaikan isi surat ini kepadamu secara langsung. Aku tidak pandai menulis surat, kau tahu. Jadi aku akan membuat surat ini sesimpel mungkin.

 Aku tahu kau telah menjalani hidup yang sulit. Ayah meninggal dalam perang sewaktu kau masih kecil, dan ibu meninggal karena sakit beberapa tahun lalu. Aku tahu rasanya kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Dan maafkan aku kalau kau harus kehilanganku juga.

 Aku sudah 21 tahun mengamatimu, Katya. Aku mengamatimu tumbuh sejak ibu membawamu ke dunia. Aku tersenyum saat kau tersenyum. Aku menangis saat kau menangis. Aku berusaha sebisa mungkin menjadi kakak yang terbaik untukmu. Kuharap aku berhasil.

 Kau tahu apa yang paling kusuka darimu? Senyummu. Aku ingat kau tersenyum padaku pertama kalinya waktu umurmu baru dua hari. Saat itu ibu sedang di kamar mandi dan aku mendengar suaramu menangis. Saat aku menghampirimu untuk menangkanmu, kau malah tersenyum kepadaku. Dan saat itu aku baru sadar ternyata tuhan bisa mengirimkan malaikat dalam rupa bayi perempuan cantik sepertimu.

 Satu pesanku untukmu. Tetaplah tersenyum seperti itu kepada orang-orang. Jangan biarkan satu orangpun membuatmu tersenyum dengan cara yang berbeda. Aku menyayangimu, Kat. Aku menyayangimu sampai kapanpun.

 

 Your beloved bro,

 

 Aaron.

***

 Satu bulan kemudian.

 Zayn terbangun di kursi ruang tunggu rumah sakit. Seluruh tubuhnya terasa pegal. Ia mengerang sambil merentangkan tangannya agar otot-ototnya tidak kaku. Selanjutnya, Zayn menatap jam dinding besar yang terpasang di sebuah sudut. Jam 2 pagi.

 Sudah satu bulan ini hari-harinya ia habiskan di rumah sakit. Zayn hanya pulang untuk sekedar mandi dan berganti pakaian, lalu kembali lagi kesini. Sesekali dokter mengizinkan Zayn menengok seseorang yang sudah agak lama tidak ditemuinya, yang sedang koma di dalam ruangan ICU kecil di hadapannya ini.

 Zayn menghela napas panjang. Karirnya berantakan. Zayn tidak pernah datang latihan sama sekali, dan kadang-kadang muncul di pertandingan kecil kalau diperlukan. Permainannya juga memburuk. Dalam 3 pertandingan, ia sama sekali tidak membuat gol ataupun assist. Total passing akurat yang diproduksinya juga menurun drastis.

 Mungkin Jose Mourinho benar, gumamnya dalam hati.

 Zayn harusnya bisa bersikap professional dengan tidak mencampuri urusan pribadi dengan karirnya, tetapi itulah kelemahannya. Zayn tidak bisa fokus saat sedang ada pikiran yang sangat mengganggunya. Kepalanya harus benar-benar jernih, barulah ia bisa maju dan melawan siapapun yang ada di hadapannya.

 Seorang dokter yang umurnya kira-kira 60 tahunan yang biasa menangani Katya—Dr. Veltman—keluar dari ruangan tempat Katya dirawat. Pria itu mengalungi sebuah stetoskop seperti dokter pada umumnya. Ia juga memegang sebuah papan jalan berisi kertas-kertas, entah kertas-kertas apa.

 “Mr. Malik?”

 Zayn bangkit dari posisi duduknya. “Ya?”

 Dr. Veltman memberi isyarat kepada Zayn untuk mengikutinya. Mereka berdua berjalan beriringan di lorong yang sepi. “Kau ini saudara dari Ms. Maguire?” tanyanya.

 “Bukan,” Zayn menggeleng. “Hanya temannya.”

 Dr. Veltman mengangguk-angguk. “Dia sudah sadar,” katanya, yang membuat Zayn bisa bernapas lega mulai dari sekarang. “Tidak ada masalah apa-apa pada fisiknya. Dia sudah bisa pulang dalam waktu dekat ini. Tetapi..”

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang