Bagian 62 (Renungan)

Mulai dari awal
                                    

Ini sebabnya kenapa riba diharamkan. Karena tidak membawa maslahat kepada orang yang menghutangi karena tak adanya barokah, dan orang yang berhutang karena sejatinya dia melakukan kezaliman kepada orang lain.

Dalam sebuah hadits disebutkan : Barang siapa yang telah datang kepadanya peringatan dan nasehat dari Tuhannya, lalu dia berhenti dari perbuatan riba, maka perbuatan orang tersebut di masa lalu, hukumnya kembali kepada Allah subhana wa ta'ala.

Sedangkan orang yang kembali lagi bermuamalah dengan riba, maka dia adalah penghuni neraka. Dia kekal di dalamnya.

Yang kekal di dalam neraka adalah orang yang bermuamalah dengan riba, yang tahu bahwa riba itu hukumnya haram, tapi dia menghalalkannya dengan alasan dia tak bisa lepas dari riba. Orang yang menghalalkan riba inilah yang disebutkan akan kekal di neraka. Karena apa? Karena menghalalkan perkara yang telah diharamkan oleh Allah subhana wa ta'ala.

Farhan refleks menundukkan wajahnya. Hatinya bergidik. Padahal Farhan bukanlah orang yang tidak paham hukum Islam. Sebelum Farhan memutuskan mengambil kredit rumah melalui bank konvensional, dia menyadari bahwa keputusan itu melanggar firman Allah. Dan bahkan sesudahnya, dia masih juga mengambil kredit mobil dengan cara yang sama. Bagaimana dia bisa menjerumuskan dirinya dua kali berturut-turut?

Namun ada sedikit harapan dalam hatinya. Dia tak pernah sekalipun menghalalkan kesalahan yang diperbuatnya. Tak pernah berpikir bahwa riba adalah halal, untuk mencari pembenaran terhadap dosanya.

Sementara orang yang bermuamalah dengan riba, jika dia sadar bahwa perbuatan itu adalah dosa, ini adalah orang yang fasik. Tapi tidaklah kekal di dalam neraka. Sebab dia sadar perbuatan itu adalah dosa.

Di dalam sebuah hadits, baginda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda : Rasulullah melaknat kepada orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakil transaksi riba, yang menulis transaksi riba, dan yang menjadi saksi transaksi riba. Mereka sama-sama dilaknat.

Bahaya riba ada 70 pintu. Yang paling ringan dosanya di sisi Allah adalah seperti dosa orang yang mendatangi Ibunya sendiri."

Farhan memejamkan matanya. Astaghfirullah.

Tentang hadits itu, dia sudah tahu sebenarnya. Tapi kenapa dia tetap melakukannya? Karena merasa 'terpaksa'? Karena merasa harus memberikan kehidupan yang sesuai dengan standar hidup orang kebanyakan? Karena ingin memberi 'kenyamanan' pada dirinya dan istrinya?
Layakkah semua itu, hingga dia rela melanggar larangan Tuhan?

"Ancaman-ancaman itu sangatlah berat, bagi orang yang bermuamalah dengan riba. Hendaklah dia berhenti dari riba, untuk menggapai rida Allah subhana wa ta'ala.

Dalam sebuah hadits disebutkan : Allah menghapus, Allah menghancurkan, Allah membinasakan riba. Membinasakan, maknanya adalah, orang yang mendapatkan harta dari riba, tidak akan mendatangkan manfaat. Tidak ada barokahnya. Sudah banyak buktinya, orang yang mendapatkan hartanya dari hasil riba, harta tersebut pada akhirnya digunakan untuk hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah subhana wa ta'ala.

Dan tidak akan menghapus dosa, jika pun sekiranya uang hasil transaksi riba itu digunakan untuk sumbangan masjid. Tetap tidak dibenarkan. Dan tak akan mendapat ganjaran, sekalipun digunakan untuk apa saja amalan yang baik. Karena harta itu didapatnya dengan cara yang haram.

Para Ulama juga berpendapat bahwa uang hasil riba tak seharusnya dipergunakan untuk dimakan sendiri, ataupun untuk membangun rumah-rumah Allah subhana wa ta'ala. Kecuali jika digunakan untuk tempat-tempat umum, seperti arena, atau jalan tol. Hal itu diperbolehkan, tapi tetap, tak ada ganjarannya. Sebab hartanya adalah harta haram. Adakah Allah memberi ganjaran pada orang yang berbuat baik dari harta haram?

Jika begitu, maka orang akan berlomba-lomba mencari harta yang haram. Maka berhati-hatilah dalam bermuamalah dengan riba. Tidak menjadi alasan jika banyak orang mengatakan 'zaman kita sekarang sulit untuk lepas dari riba'. Apakah Allah subhana wa ta'ala menurunkan Al-Qur'an, melarang riba hanya untuk di zaman Rasulullah saja?"

Terdengar sayup sahutan salam saat nama Rasulullah disebut, "Allahumma sholli wa salim 'alaih."

"Perkara riba itu sudah menjadi duri di dalam daging semenjak zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, namun di kala itu, kekuatan iman lah yang membuat para sahabat bersemangat meninggalkan semua transaksi riba. Iman kepada Allah. Percaya kepada Allah.

Barangsiapa yang datang kepadanya nasehat dari Tuhannya, dan berhenti dari riba. Saya ulangi : Barangsiapa yang datang kepadanya nasehat dari Tuhannya, dan berhenti dari riba. Yang menasehati dia untuk berhenti dari riba, siapa? Tuhannya. Allah yang menyuruh dia. Allah yang memberinya nasehat.

Adakah orang yang mengikuti nasehat dari Tuhannya, lalu dibiarkan hidup miskin sengsara karena tidak bermuamalah dengan riba? Dengan kepatuhan kepada Allah, lalu disengsarakan oleh Allah? Hamba macam mana yang menilai Allah seperti itu?"

Melihat reaksi orang-orang di sekitar Farhan, dia merasa bukan hanya dirinya yang merasa bersalah. Memang di zaman sekarang ini, bahkan orang yang berusaha menghindari riba, sedikit banyak akan terpercik efeknya. Farhan merasa, orang-orang yang tetap mendatangi acara ceramah ini, sekalipun tahu bahwa tema ceramah adalah tentang riba, pastinya adalah orang yang hatinya terpanggil oleh Allah. Dia merasa bersyukur Allah memilihnya menjadi salah satu dari mereka.

Sistem riba yang pada saat itu telah menjadi duri di dalam daging dalam perekonomian di zaman Nabi, dihapuskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, dan diikuti oleh para sahabat, dengan kekuatan iman.

Sayyidina Abu Hanifah, ketika memahami hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, berkata 'setiap hutang piutang yang mendatangkan manfaat, itu adalah riba. Misal hutang 1000, bayar 1100. Atau dengan cara yang lain. Orang zaman sekarang berusaha men-syariatkan riba. Jika hutang piutang yang mendatangkan manfaat adalah haram, maka dia mencari celah. Celahnya begaimana? Misal ada seseorang yang seakan-akan menjual barang 1000. Kemudian dibeli 900. Dan jika dia ingin membayar, bayarnya 1000. Padahal barangnya punya dia sendiri. Mencari celah untuk menghalalkan riba. Dengan apa? Dengan sistem jual beli. Tujuannya adalah riba.

Abu Hanifah berkata, saat dia menghutangi seseorang di Erat, ketika berjalan, dia berteduh di bawah suatu rumah yang atapnya agak keluar. Dia tidak sadar kalau dia berteduh di bawah rumah orang yang berhutang padanya. Saat dia sadar, ditinggalkan rumah itu dan melanjutkan perjalanan.

Kenapa beliau melakukan itu? Beliau berkata 'Karena aku takut berteduhnya aku di bawah rumah orang yang berhutang padaku, seakan-akan aku mengambil manfaat dari orang yang berhutang padaku, sehingga aku bermuamalah dengan riba, dengan mengambil manfaat, berteduh di atap rumahnya.

Orang zaman sekarang terlibat riba dengan berbagai alasan. 'Kalau kita tidak bermuamalah dengan riba, mana bisa kita bisa memiliki rumah? Mana bisa kita memiliki kendaraan?' Selagi kita beralasan 'mana bisa?', maka memang 'mana bisa'."

Ustaz Zaenal tersenyum memandangi wajah para jamaah yang sedari tadi nampak tegang. "Mesti ada iman kepada Allah subhana wa ta'ala. Jangan merendahkan hukum Allah dengan meletakkan keraguan kepada apa yang diperintahkan Allah subhana wa ta'ala."

Kesempurnaan iman adalah percaya MUTLAK dengan apa yang Allah beritahu pada kita. Dan tidak memperselisihkan, apalagi meragukan hukum-hukum Allah.

Allah menghancurkan riba, dan memberikan kelebihan dalam sedekah. Memberikan barokah pada sedekah. Sedekah tidak akan mengurangi. Melainkan akan bertambah, bertambah, dan bertambah. Kata Allah, Riba aku hancurkan, sedekah aku tambahkan.

Percaya kepada siapa? Percaya kepada Allah yang menjanjikan tambahan pada sedekah, atau percaya kepada syaitan yang menjanjikan kemiskinan kalau kita tidak bermuamalah dengan riba?

Saat ini bahkan ahli ekonomi dari dunia Barat sudah memperingatkan tentang bahaya riba. Seorang ahli ekonomi Jerman mengatakan bahwa muamalah dengan riba akan membuat orang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Mereka telah meneliti, bahwa selama keuntungan dari peminjaman belum nol persen (tanpa riba sama sekali), maka kemiskinan akan terus merajalela.

Semoga Allah selamatkan kita dari aromanya riba, apalagi terjerumus dalam akad riba. Amin Allahuma Amin."

.

.

***

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang