Bagian 58 (Menyambung Tali Yang Terputus)

Start from the beginning
                                    

Farhan menahan senyumnya sambil menggelengkan kepala. Seperti biasa. Yunan selalu lebih memikirkan orang lain. "Hh. Yunan Yunan."

Mesin mobil dinyalakan dan mobil itu melaju meninggalkan area sekolah. Setelah sekitar sepuluh menit, mereka sudah berada di jalan utama.

Seperti biasa, Yunan lebih memilih diam jika tidak diajak bicara. Farhan melirik ke arahnya sedetik.

"Yunan," panggil Farhan.

Yunan segera menoleh. "Ya, Yah?"

"Apa ayah boleh tanya?"

Yunan mengangguk.

"Apa kamu punya banyak teman di kompleks kita?"

"Teman? Iya aku berteman dengan mereka."

"Berarti, kamu gak kesulitan berteman dengan mereka?"

Kali ini Yunan nampak ragu menjawab. "Emm ... yah. Ada beberapa yang -- hmm -- maksudku, aku dekat dengan sebagian dari mereka."

Farhan terdiam. Pikirannya sibuk memilah kata. Yunan adalah anak yang sangat hati-hati dalam berperilaku dan berucap. Itu karena adab dan akhlaknya yang baik. Dia pastilah tidak akan mau membicarakan keburukan orang lain. Yunan akan berusaha menghindari hal semacam itu.

"Ayah perhatikan, ada beberapa anak yang memang sengaja kamu hindari. Apa tebakan ayah benar?"

Pertanyaan itu membuat Yunan salah tingkah. "Ehm. Aku --" Yunan teringat kembali pengalaman buruknya saat pertama kali diajak bermain ke rumah anak yang bernama Revan. Awalnya dia sama sekali tidak punya pikiran buruk, tapi Yunan sungguh terkejut saat teman barunya itu memperkenalkannya pada hal-hal baru yang belum pernah dilihatnya. Hal-hal yang dia tahu, terlarang. Terutama untuk anak seusia mereka. Mereka bahkan belum menginjak usia 12 tahun, bagaimana bisa majalah dewasa itu ada di bawah tempat tidur temannya? Dan video porno di layar tab itu? Sungguh menjijikkan. Yunan nyaris muntah melihatnya. Di kampungnya dulu, tak pernah ada temannya yang seperti itu.

Yunan menggelengkan kepala. "Enggak, Yah. Aku bukannya menghindari mereka. Aku cuma berusaha memilih, dengan siapa sebaiknya aku berteman."

Farhan berpikir. Kedua hal itu sebenarnya serupa. Tapi memang tidak sama. 'Menghindar' lebih terkesan negatif.

"Karena, almarhumah ibuku dulu pernah bilang, dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam berkata, 'agama seseorang itu, tergantung agama temannya'. Jadi kalau aku tidak hati-hati, aku bisa terkena pengaruh dari teman yang akhlaknya buruk."

Farhan tersenyum. "Ayah percaya penilaianmu. Ayah gak maksa kamu kok, Yunan. Kamu boleh berteman dengan siapapun yang kamu suka."

Yunan merasa lega. Tadinya dia pikir Farhan sedang menasehatinya karena dia beberapa kali menolak setiap diajak main ke rumah Revan dan beberapa temannya. "Makasih ayah," ucap Yunan tersenyum.

Mereka berdua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Mendadak Yunan kembali bicara. "Kalau kita dekat dengan seseorang, hanya ada dua kemungkinan. Kita yang mempengaruhi mereka, atau mereka yang mempengaruhi kita. Itu makanya, aku sangat hati-hati memilih."

Farhan tertegun mendengarnya. Mendadak sebuah kilas balik, muncul di ingatannya. Suatu saat di masa lalunya, saat dia masih remaja dulu, hingga dia di bangku SMA, Farhan adalah seorang remaja yang rajin 'menghidupkan' masjid, dan rutin ke majelis ilmu. Saat kuliah, lingkungan yang berbeda membuat dia tak serajin sebelumnya. Namun, saat itu, dia sesekali masih menghadiri kajian rohani Islam.

Dan sekarang? Jangankan menghadiri kajian. Selain salat Jum'at, dia nyaris tidak pernah salat berjamaah di masjid.

Bagaimana dirinya bisa ada di titik ini sekarang?

***

Keesokan harinya.

Pagi itu, hawa dingin terasa menusuk. Tapi Farhan sepagi ini sudah mandi. Tubuhnya merasa segar. Setengah jam yang lalu, untuk pertama kalinya setelah lama dia kesulitan terbangun di sepertiga malam, akhirnya Farhan berhasil bangun lebih awal dan salat dua rakaat. Dia menatap Erika yang tubuhnya masih berselimut bagai cangkang kura-kura. Farhan sudah berusaha membangunkan istrinya itu, tapi tidak juga berhasil. Dia menghela napas, keluar dari kamar tidur dan menutup pintu.

Kakinya melangkah ke ruang makan. Tangannya menarik mundur sebuah kursi dan duduk di atas kursi kayu itu. Jemarinya saling bertaut, dan matanya menatap ke atas meja.

Teringat kembali kalimat Yunan kemarin.

"Kalau kita dekat dengan seseorang, hanya ada dua kemungkinan. Kita yang mempengaruhi mereka, atau mereka yang mempengaruhi kita."

Farhan mengerti sekarang. Selama ini, alih-alih mengarahkan istrinya untuk lebih taat beribadah, yang terjadi malah sebaliknya. Farhanlah yang justru menurun semangat ibadahnya. Menurun semangatnya menimba ilmu agama.

Mendadak ingatan Farhan terlempar ke masa setahun lalu dimana dulu dia pernah menemui Gito. Saat itu dia pernah mencurigai Erika berselingkuh dengan seorang pria bernama Yoga. Gito akhirnya berhasil meyakinkannya bahwa perselingkuhan itu tidak terjadi dan hanya ada di pikirannya saja. Di antara percakapan mereka, Farhan ingat pernah bertanya pada Gito.

"Apa Yoga seorang muslim?"

"Ya. Dia sedang berusaha menjadi seorang muslim. Malah, kadang saya merasa, dia berusaha lebih keras dari saya."

"Benarkah? Kalau begitu, saya juga akan berusaha lebih keras lagi."

Dulu Farhan berkata begitu. Tapi, nyatanya, sejak peristiwa itu hingga kini, tak ada usaha apapun yang dilakukannya. Dia masih menjadi muslim yang malas seperti biasanya. Belum juga meningkatkan ketaatannya.

Farhan mengeratkan tautan jemarinya.

Kira-kira, apa yang terjadi pada laki-laki itu? Yoga Pratama.

Sudahkah dia akhirnya berhasil melupakan Erika?

Pikiran itu segera dienyahkannya. Tidak semestinya dia memikirkan orang itu. Seharusnya dia fokus dengan dirinya dan keluarganya. Namun entah bagaimana, sejak melihat foto pria itu tersimpan di ponsel Erika, dia merasa ada persaingan diantara mereka berdua. Di antara Farhan dan Yoga.

Raut wajah Farhan terlihat lebih tegas. Dia bertekad. Dia tidak akan kalah dari pria itu. Yoga Pratama. Saat ini, dia memenangkan Erika. Erika ada di sampingnya. Dan juga, untuk urusan akhirat, dia tidak mau kalah darinya.

Saat ini, Farhan menyadari dia kembali dipengaruhi oleh orang yang dekat dengannya. Yang mempengaruhi dia sekarang adalah ...

"Ayah?"

Farhan menoleh ke belakang. Yunan tengah menatapnya tak berkedip. Dia terheran-heran. Apa gerangan yang membuat Farhan terbangun sepagi ini? Farhan nampak segar dengan rambut pendeknya yang masih setengah basah. Dia juga mengenakan baju koko dan celana panjang putih.

Melihat anak kesayangannya datang, Farhan tersenyum dan berdiri dari kursi. "Kamu sudah siap? Ayah menunggumu dari tadi. Ayo kita salat Subuh berjamaah."

Wajah Farhan nampak tenang dan cerah. Ini adalah ajakan sholat berjamaah pertama yang didengarnya dari ayah angkatnya. Setelah enam bulan Yunan tinggal bersamanya, di awal-awal minggu, dia berusaha mengajak Farhan salat berjamaah di masjid, dan Farhan selalu lebih memilih salat di rumah. Dia pikir akan selamanya seperti itu. Tapi ternyata ...

Mendadak Yunan teringat masa lalunya saat ayah kandungnya masih hidup. Dulu setiap akhir pekan saat ayahnya tidak ke pasar, Yunan selalu berangkat sholat berjamaah bersama ayahnya. Dan melihat Farhan di hadapannya mengajaknya ke masjid, dia merasa semakin sayang padanya. Hatinya semakin bisa menerima Farhan seperti ayah kandungnya sendiri. Matanya berkaca-kaca, tapi air mata itu segera ditahannya.

"Iya, Yah," jawab Yunan.

Farhan merangkul pundak Yunan, yang telah dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Mereka berjalan ke pintu depan dan tangan Farhan membuka gagang pintu.

Dalam hati Farhan berdo'a.

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah, izinkanlah aku menyambung kembali tali yang putus. Semoga Engkau jadikan aku hamba-Mu yang taat kepadamu. Dan kali ini, semoga Engkau jadikan aku istiqamah dalam ketaatanku.

.

.

***

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now