"Oya, Nak, Reyhan mana? Apakah dia belum bangun?" tanya sang mertua.

"Dia sudah bangun, Ibu...mungkin sedang bersiap," jawab Neira. Ya, memang laki-laki itu sudah terbangun di sisi ranjang ketika Neira menyiapkan perlengkapan mengajarnya dalam tas. Namun, Neira mengabaikannya, seolah tak melihatnya.

Ia keluar dengan tas itu dan diletakkannya di meja ruang tamu. Sudah dikatakannya bukan? Jika Neira muak jika berlama-lama berada dekat dengan laki-laki itu.

"Baiklah, biarkan Ibu saja yang memanggilnya untuk sarapan," jawab sang mertua sebelum berlalu. Tentu hal itu disyukuri Neira.

"Selamat pagi, Ayah," sapa ramah Neira ketika Ayah Mertuanya itu memasuki ruang makan dengan pakaiannya yang telah rapi. Menampilkan kewibawaan yang juga masih tersisa ketampanannya.

Pantas saja jika kedua puteranya tampan. Tentu diwariskan dari wajah ayah mertua yang berdarah Australia, sedangkan anak gadisnya, Elladya lebih condong mewarisi wajah ibu mertua yang berdarah Jogja meski juga ada kemiripan dengan sang Ayah. Hal itulah yang dipikirkan Neira ketika menatap laki-laki paruh baya itu yang berjalan mendekati kursi.

"Selamat pagi juga, Nak," jawabnya tersenyum kemudian mengambil posisi duduk di kursi pada meja makan itu.

Terdengar derap langkah dari arah tangga. Meski terdapat lift di rumah itu, tetapi anak bungsu keluarga itu memilih melewati anak tangga jika pagi, itung-itung sedikit olah raga baginya.

"Selamat pagi Ayah, Kak," sapa Elladya yang muncul memasuki ruang makan, mendekat hendak bergambung.

"Selamat pagi, Sayang," jawab sang Ayah lalu anak gadisnya itu mencium pipinya.

Diikuti Neira menjawab "Selamat pagi juga, Dik," Tampak adik iparnya telah rapi dengan seragam SMA.

"Kau itu imut dan manis, El," tambah Neira membuat sang adik merona.

"Ah, Kakak bisa saja," jawabnya tersipu malu mendapat pujian tulus itu.

Sementara dalam kamar Reyhan, sang ibu menemukannya di depan cermin merapikan diri, laki-laki itu sedang mengaitkan kancing di lengan kemeja biru dongkernya.

"Kau perlu bantuan, Nak?" ucap sang Ibu mendekatinya. Reyhan yang menyadari kehadiran sang Ibu dari pantulan cermin menoleh tersenyum.

"Tidak, Bu. Ini...lihat, sudahkan?" jawabnya sambil mengangkat menunjukkan lengan kemejanya yang telah terkancing semua. Sementara hanya dijawabi senyuman oleh sang Ibu.

"Rey, mulai hari ini kau harus mengantar istrimu setiap pagi, sebelum kau berangkat ke Rumah Sakit," ucapan Ibunya itu membuat Reyhan tak suka apalagi pada kata 'istrimu'.

"Diakan bisa memakai mobil sendiri Bu atau bisa diantar oleh supir. Kenapa harus berangkat denganku?" elaknya tak terima jika harus mengantar Neira.

"Istrimu hanya akan diantar oleh supir jika kau tak memiliki jam kerja yang sama dengannya. Dan lagi, soal naik mobil sendiri. Dia...." Sang Ibu memberi jeda.

"Isterimu masih mengalami trauma," lanjutnya dengan wajah bersimpati untuk menantunya.

"Trauma?" Reyhan bergumam dengan wajah datar, seolah penasaran sedangkan ekspresinya bertolak belakang, terlihat bahwa ia hanya sekadar basa-basi, tentu karena ia tak peduli tentang apapun menyangkut perempuan itu-isterinya. Namun, Ibunya itu ternyata tak juga menyadari.

"Iya, lebih jelasnya Ibu tidak tahu, Nak. Karena sebatas itu yang diberi tahu oleh Bunda Neira-Mertuamu. Ibu segan untuk bertanya lebih jauh, yang mungkin saja ada hal buruk yang menimpa keluarga mereka dan hal itu sedang mereka coba untuk lupakan," terangnya dengan tatapan sendu.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Where stories live. Discover now