“Tetapi?”

 “Tetapi....dia mungkin masih trauma,” Dr. Veltman berkata dengan hati-hati. “Jangan terlalu memaksanya, oke?”

 Zayn mengangguk. “Oke.”

 “Kau sudah bisa menjenguknya.”

***

 Hari itu Katya sudah boleh pulang.

 Tiga hari lalu ia terbangun di ruang ICU dan setelah mengingat-ingat cukup lama tentang apa yang terjadi, barulah Katya sadar kalau luka yang ia buat membuatnya tidak sadar selama satu bulan. Selama 3 hari ini juga, Zayn selalu ada di sampingnya. Tidak pernah bicara, tidak pernah tersenyum. Tetapi dia ada disana.

 Zayn mengurus administrasi di kasir sementara Katya menunggu di kursi roda. Katya sudah berkata kalau ia ingin membayar semuanya sendiri, tetapi Zayn tidak mau dengar. Setelah semua urusan dengan rumah sakit selesai, Zayn mendorong kursi roda Katya ke arah parkiran. Zayn membantu Katya untuk masuk ke dalam mobil, setelah itu ia masuk dan menutup pintu.

 “Kau tinggal denganku sekarang,” kata Zayn.

 Katya terlalu terkejut untuk mencerna kata-kata Zayn tadi. “Apa?”

 “Apakah pernyataanku kurang jelas?” tanya Zayn datar. “Mulai sekarang, kau tinggal denganku. Di flat ku. Aku tidak memintamu untuk menjual ataupun mengosongkan flat Aaron. Kau boleh mempertahankannya. Tetapi kau tetap tinggal denganku. Aku akan mengambil barang-barang yang kau perlukan dan—“

 “Tunggu dulu,” potong Katya. “Kau tidak bertanya apa aku setuju untuk tinggal denganmu atau tidak.”

 Zayn mendengus. “Aku tidak ingin meminta persetujuanmu.”

 “Memangnya kenapa pula aku harus tinggal denganmu?” semprot Katya. “Hey, aku sudah besar. Umurku 21 tahun dan aku bisa tinggal sendiri. Aku bisa—“

 “Bisa mencoba bunuh diri lagi, ya. Tentu.”

 Katya mengerutkan keningnya. “Apa?”

 “Kau memang 21 tahun tetapi jalan pikiranmu seperti anak kecil!” kata Zayn, agak membentak. “Apa sih yang kau pikirkan waktu itu? Memangnya menurutmu kau pantas mati dengan cara itu? Tidak ada orang yang pantas mati, Katya. Harusnya seseorang yang umurnya 21 tahu tentang hal itu.”

 “Kenapa memangnya?” tantang Katya. “Kenapa kalau aku mau mati? Memangnya apa hubungannya denganmu? Apa itu akan merugikanmu? Tidak, kan? Kenapa harus repot-repot mengurusi kehidupanku? Kau bahkan bukan siapa-siapaku, Zayn. Sadar!”

 “Memangnya kau punya siapa lagi?” tanya Zayn. Suaranya meninggi.

 Katya tertegun. Ia terdiam selama beberapa saat. “Kau benar,” katanya pelan. “Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Makasih sudah mengingatkan.”

 “Hey,” Zayn menoleh untuk menatap Katya. Suaranya melembut. “Aku minta maaf, oke? Aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal itu,” katanya. “Yang aku mau adalah kau tinggal denganku. Jangan membantahku, Kat. Kumohon?”

 Katya menatap Zayn. Ia benar-benar kehabisan cara untuk menolak permohonan Zayn saat cowok itu menatapnya seperti ini. Tiba-tiba Katya merasa kalau pilihan tinggal dengan Zayn bukanlah hal yang buruk. “Baiklah,” kata Katya pada akhirnya.

 Zayn mengangguk. “Terima kasih.”

***

 Zayn membawa dua tas besar berisi baju-baju Katya dan meletakkannya di dalam kamarnya. Begitu Zayn selesai dengan semuanya, ia mendapati Katya sedang duduk di sofa panjangnya. Cewek itu membelakanginya.

For You, I am.Where stories live. Discover now