Wattpad Original
There are 2 more free parts

Lima: Si Penuh Kejutan

125K 11.1K 557
                                    

Aku adalah angin

Yang bergerak tak tampak namun ada

Aku adalah angin

Yang berharap kembali mengulang pelukanmu

Tapi aku sadar, angin tidak pernah kembali

Pada tempat di mana ia pernah lalui

Lalu, apakah aku akan menjadinya?

Yang sekadar numpang lewat dalam dekapmu

Tanpa pernah berkesempatan untuk berbalik lagi?

Namita menatap hiruk pikuk stasiun kota Malang dengan wajah semringah. Sudah lama ia tidak menginjakkan kakinya di tempat ini. Ia memang jarang mengunjungi kakaknya—Naira karena kesibukan kuliahnya. Meskipun tidak banyak mengikuti kegiatan kampus, tapi Namita memang sering menghabiskan waktunya dengan tugas, tumpukkan buku-buku miliknya atau buku yang ia pinjam di perpustakaan maupun kegiatan akademi lainnya. Mengikuti lomba esai misalnya.

Naira melambaikan tangannya begitu matanya berserobok dengan tubuh Namita. Perempuan itu berjalan cukup cepat sambil menggendong bayi laki-lakinya yang bernama Agra, bayi laki-laki yang baru berusia tiga bulan. Mata hijau keponakannya itu tampak menawan dan membuat Namita selalu betah menatapnya. Keponakannya itu memang memiliki darah Eropa dari ayahnya.

"Agraaa sayangnya Tante."

Namita berseru heboh sambil mengelus pipi Agra, bayi itu tersenyum melihat Namita dengan wajah berseri-seri, seperti tahu bahwa tantenya itu merindukan dirinya. Bersama Agra selalu membuat dirinya merasa berbeda.

"Gimana perjalannya?"

Namita tersenyum menatap Naira, kakak perempuannya yang memiliki kisah rumit dengan ayah Agra walau sekarang berakhir dengan bahagia. Ia membayangkan, akankah ia memiliki kisah serumit kakaknya itu? Semoga tidak.

"Ya, seperti biasa. Nggak ada yang spesial."

"Oh, ya?"

Naira menaikkan sebelah alisnya. Lalu menghela Namita untuk mengikutinya berjalan menuju parkiran tempat supirnya menunggu.

"Agra kangen Tante ya?"

Tak menjawab pertanyaan Naira, Namita memilih menggendong Agra dan menatap bayi itu, sesekali menoel pipinya, membuat sang kakak menghela napasnya berat. Selalu seperti ini, Namita si minim ekspresi dan Namita si cuek yang kebetulan sekali adalah adiknya. Ya, berbeda jauh dengan dirinya yang gampang berekspresi.

Semenjak kematian ibunya, Namita memang berubah pendiam, dari gadis ceria, ia mengubah kepribadiannya secara mendadak. Naira tahu, kematian ibu mereka membawa duka mendalam bagi Namita, dan salahnya pula tidak menghabiskan banyak waktu dengan Namita, karena saat SMA ia memilih ikut tantenya bersekolah di Jakarta, selain karena pendidikan di sana bagus, Namita yang sebenarnya sama berdukanya dengan Naira menginginkan suasana baru yang bisa menyembuhkan hatinya dari sakit kehilangan atas kematian ibu.

"Kapan terakhir kali kamu pulang ketemu Ayah?"

Naira bertanya lagi, Namita yang tengah sibuk bercengkerama dengan Agra yang masih belum bisa apa-apa, menatap sekilas ke arah kakaknya.

"Bulan lalu."

"Terus gimana dengan Laksamana?"

"Nggak gimana-gimana."

"Nam ...."

Naira tampak kesal dengan adiknya itu. Susah sekali membuat Namita bercerita dengan sukarela mengenai hubungannya dengan Laksamana. Naira takut Namita tidak bahagia dengan perjodohan itu, meskipun perjodohan itu tidak terkesan memaksa tapi Naira tahu Namita adalah anak yang sangat berbakti pada orang tuanya dan akan melakukan apa saja yang diminta orang tuanya meskipun ia tidak nyaman. Ayah dan ibunya adalah salah satu keturunan ningrat yang sangat menjunjung tinggi sebuah ucapan dan menganggapnya sebagai utang. Begitu pula tentang adat mereka mengenai jodoh, bibit bebet dan bobot haruslah terpenuhi sesuai kriteria. Keluarga Laksamana dianggap mampu memenuhi semuanya saat ayahnya tahu jika Naira lebih memilih menikah dengan suaminya yang mantan pemakai narkoba setelah melalui perjuangan alot untuk meluluhkan hati ayahnya.

Ketua Senat ✔Where stories live. Discover now