Wattpad Original
There are 4 more free parts

Tiga: When I Met You

134K 11K 278
                                    

Barangkali semesta membuat konspirasi, menyatukan kita suatu hari nanti.

Akhir masa SMA

Namita mengamati layar laptop yang menunjukkan pengumuman kelulusannya di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.

Ia senang, sekaligus sedih. Sebab, ingin berkuliah di tempat yang baik namun di satu sisi ia sulit meninggalkan ayahnya. Namita tinggal di kota kecil. Di sini, tidak ada kampus yang menyediakan jurusan yang diinginkan Namita, membuat cewek itu memutuskan mendaftar kuliah di Surabaya. Tapi, setiap kali ia merenung, saat itulah perasaan bimbang kembali menyeruak. Kakaknya perempuannya Naira telah menikah dan ikut suaminya. Tinggal ia seorang yang harus menemani ayahnya di sini.

Setelah menutup laptopnya, Namita berjalan ke teras depan. Rahman—ayahnya sedang menyesap teh sore ini. Hari ini ayahnya mendapat jatah libur dari rumah sakit tempat ayahnya bekerja sebagai Dokter spesialis ortopedi di salah satu rumah sakit daerah milik pemerintah.

"Yah ...."

Rahman menaruh cangkir tehnya di atas meja. Ia memandang putrinya yang saat ini duduk di atas kursi—tepat berada di sampingnya.

"Gimana pengumumannya? Lulus?"

"Alhamdulillah, Yah."

Memandang putrinya sambil tersenyum bangga, Rahman melihat segurat sedih yang menaungi wajah Namita.

"Ayah tidak apa-apa, Nam. Surabaya kan tidak jauh, kamu bisa pulang di hari Jumat."

Namita bersandar pada kursi, perempuan berbandana hitam itu menghela napasnya.

"Tapi Ayah nanti sendiri. Mbak Naira kan nggak di rumah, jauh lagi di Malang."

"Nam ...."

Pria berusia lima puluhan itu menatap putrinya penuh kasih, langit di sore hari yang semakin menua menuju ubun malam mulai menampakkan sisi perkasa yang dimilikinya. Alam memang luar biasa indah untuk sekadar dideskripsikan.

"Bundamu sebelum meninggal berpesan pada Ayah, kalau kamu dan Naira harus mendapat pendidikan yang baik begitu pula urusan jodoh. Bundamu itu bahkan sudah menyiapkan jodohmu sendiri."

Ayahnya sedikit terkekeh, Namita tahu di baliknya ada rindu luar biasa untuk bunda yang sudah meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Ayahnya yang setia itu memilih bertahan sendirian tanpa menikah lagi, untuk sekadar mengisi hari tua.

"Yah, kalau Ayah mau nikah lagi, Namita ikhlas. Nanti aku ngomong sama Mbak Naira."

Rahman tertawa cukup keras, ia mengangkat cangkir tehnya yang sudah hampir kosong.

"Ada Mbok Sumi dan Kang Diman, nggak usah khawatir kalau Ayah kesepian. Dan, kalaupun ada pesta pernikahan lagi. Pesta itu bukan milik Ayah tapi milikmu."

Namita meringis, ayahnya masuk ke dalam rumah sambil membawa cangkir tehnya. Pesta pernikahannya? Yang pasti masih sangat lama, ia masih ingin meraih gelar S2 dan gelar profesi konselor sebelum menikah.

"Nami, masuk! Sudah mau magrib."

Namita tersenyum kecil, kakinya melangkah ke dalam rumah. Ia sudah yakin sekarang, karena seperti halnya ayah lainnya, ayahnya pun menginginkan yang terbaik untuk dirinya.

***
Masa Ospek

Ospek memang tidak menyeramkan. Hanya sedikit gertakan senior, yang Namita yakini itu adalah akting. Adegan menangis senior yang bertugas menjadi panitia pemandu juga tidak memengaruhi Namita. Namun, banyaknya tugas membuat esai, ditambah ia belum makan sejak kemarin malam menyebabkan tubuhnya lelah luar biasa. Kepalanya sejak tadi berputar-putar, keringat dingin muncul, menjadikan tubuhnya terasa menggigil.

Ketua Senat ✔Where stories live. Discover now