Chapter 20 (Jati)

889 151 10
                                    

Setelah ngobrol bareng nyokap dan pemulihan pasca nyungsep, gue kembali ke Jogja. Plus dengan motor matic kiriman bokap. Pertama balik ke kos, Bang Taro melongo melihat motor gue yang sekarang. Sementara Fajar malah sudah terbahak di parkiran.

"Mana nih motor andalan? Kalo gini ceritanya, sama motor gue juga cakepan motor gue." Ujar Fajar saat motor gue dijajarkan dengan motornya. Ngeselin emang si Fajar ini.

"Ga, kok bisa gini?" Pertanyaan penuh nada dramatis keluar dari mulut Bang Taro. "Biar gak nyungsep-nyungsep lagi." Sahut gue datar. Bang Taro langsung ciut. Dasar emang senior buluk, mau ngecengin cewek nggak punya modal!

"Udah, gue mau tidur. Minggir kalian." Usir gue. Bang Taro dan Fajar nggak banyak bacot dan langsung minggir gitu aja.

Sejujurnya, sebelum gue ke kamar kos, gue ingin sekali ngelihat gimana kondisi Ning saat ini setelah belakangan Ning hilang dari peredaran. Yap, gue nggak membalas semua pesan Ning dan menjawab teleponnya. Gue butuh waktu buat mikir. Mungkin Ning lagi bahagia-bahagianya sama Banyu setelah gue pergi. Who knows kan?

Pusing sama asumsi dalam otak gue, gue akhirnya tidur. Semoga besok gue punya keberanian buat nyamperin Ning. Semoga saja.

*****

Gue baru memberanikan diri menemui Ning setelah tiga hari di kosan. Gabut. Bang Taro kayaknya menunda acara hiking kami juga karena banyak yang ikut SP di semester ini.

Hal pertama yang gue ingat dan ingin sekali gue bawakan untuk Ning adalah gelato. Berbekal gelato rasa vanilla kesukaan Ning, gue mengetuk pintu kamar kosnya.

Sejenak gue terenyak. Ini ... Rahayuning Bhuana? Ning?

"Eh? Jati. Tumben. Ada apa?"

"Rambut kamu kemana?" Itu sama sekali bukan jawaban atas pertanyaan Ning. Tapi gue sungguh-sungguh terpana. Ada apa?

Ning mengusap kepalanya sambil nyengir, "ditukar sama duit." Ujarnya mencoba bercanda. Gue menggelengkan kepala gue.

"Nggak lucu." Entah kenapa suara gue tiba-tiba berubah mendingin. Ning juga kelihatan kaget.

"Bawa apa itu?" Gue menggelengkan kepala gue. "Bukan apa-apa. Ini mau aku buang."

"Kalo makanan mending buat aku daripada dibuang."

Masih berani ketawa-ketawa ini anak. "Rahayuning Bhuana." Desis gue tajam. Ning mengela napasnya.

"Kenapa sih?!"

"Kamu yang kenapa?!" Tanya gue balas membentak. "Kamu kenapa sama Banyu?!" Lagi-lagi keluar pertanyaan dengan nada membentak. Meski jujur saja gue tidak bermaksud demikian.

"Nggak kenapa-napa!"

"Nih, makan! Bakal aku hajar si Banyu."

"Jangan coba-coba ya kamu, Argajati." Ning menghentikan langkah kaki gue. Gue tertawa skeptis.

"Masih aja kamu belain." Gue berujar setengah mencemooh.

"Nggak usah drama ya, udah bukan saatnya." Balas Ning, "lagian kamu nggak tahu apa-apa, Ti. Nggak akan pernah tahu." Lanjutnya.

Gue benar-benar ingin sekali meninju wajah Banyu sekarang.

"Wah, Banyu tetap kamu bela ya, Ning."

"Iya, karena kamu nggak tahu apa-apa!" Jeritan Ning berakhir dengan pecahnya tangisan Ning. Gue diam. Sementara Ning masih terus terisak.

"Jati, tolong jangan lakukan apapun. Apapun." Ujarnya lirih.

"Aku butuh penjelasan, Ning. Jangan bikin aku salah paham."

Tangisan Ning makin keras. Gue benar-benar bingung harus ngapain. Akhirnya dengan ragu-ragu gue menarik tubuh Ning kedalam pelukan gue.

"Aku nggak tahu harus ngapain lagi, Ti. Aku cuma kepikiran buat melakukan ini. Aku sakit." Ning bergumam dalam pelukan gue. Sementara gue masih terus mencerna semua kata-katanya.

*****

Good Morning! 💕 Have a great day anyway!

NavyWhere stories live. Discover now