Chapter 19 (Ning)

978 160 7
                                    

Setelah seminggu ini banyak menangis dan bergelung di kamar, aku memutuskan untuk mulai menyusun ulang hidupku. Mungkin saat ini tidak dengan Banyu, maupun Jati. Keluar dari kamar kos, aku menuju sebuah salon untuk memotong rambut panjangku menjadi super pendek. Sampai-sampai tetangga kosku mengiraku sebagai lelaki.

"Eh, Ayu. Astaga. Mbak pangling liat kamu!" Mbak Indah,tetangga kos yang pertama kali bertemu denganku pasca pemotongan rambut, berseru kaget. Aku hanya nyengir sambil mengusap kepalaku.

"Ada apa tho, tumben dipotong rambutnya?"

"Ah, rambutku rontok terus, Mbak. Biar gampang ngurusnya." Kilahku. Mbak Indah mangut-mangut sok paham.

"Aku ke kamar dulu ya, Mbak." Pamitku. Mbak Indah mempersilahkannya.

Aku mulai menyusun list kegiatan yang akan kulakukan selama sebulan kedepan. Mumpung dosen pembimbingku sibuk di luar negeri, aku akan sibuk melancong sebentar.

Tujuan pertamaku menuju pegunungan Prau. Berbekal baju dan tas keril pemberian Banyu saat ia berhasil mendaki Gunung Semeru, aku berangkat. Aku selalu pernasaran, apa yang dilakukan Banyu jika ia mendaki gunung. Apa yang selama ini ia cari sampai meninggalkan kuliahnya dan membuat Tante Risma khawatir. Aku ingin mencobanya.

Sampai di Wonosobo, aku melanjutkan perjalanan dengan seorang pendaki lain dari Jakarta.

"Mbak berangkat jam berapa dari Jogja?"

"Habis ashar tadi. Jam empatan." Sahutku. Pendaki yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Farhan mengangguk.

"Sendirian?" Aku mengangguk. "Kenapa nggak sama pacar?"

Aku tergelak, "pacar saya sibuk. Ngurusin istrinya." Seketika itu juga Farhan diam. Aku tersenyum puas. Bukan maksudku untuk berlaku menyebalkan, hanya saja kondisi hatiku kini sedang tak terlalu baik. Kupikir jika aku terlalu memaksa, akan aneh bila tiba-tiba aku mengucapkan kata-kata yang tak seharusnya kuucapkan.

Sampai di pintu masuk Prau, Farhan masih diam. Dia tak mengusikku lagi. Baguslah. Aku mungkin baru akan meminta maaf saat kami kembali pulang, atau tidak melakukannya sama sekali karena aku memang tak berbuat apa-apa.

Ditengah perjalanan, Farhan menyejajari langkahku. Ia menyenggol pelan bahuku.

"Kenapa orang-orang banyak memilih gunung buat tempat mereka pergi?" Aku menaikkan sebelah alisku.

"Kamu mikir gunung tempat pergi?" Aku balas bertanya. Farhan mengedikkan bahunya.

"Siapa tahu? Banyak orang yang kadang berpikir dengan naik gunung, masalah yang mereka hadapi bakal hilang pas di puncak. Turun-turun udah kelar semuanya."

"Bakal rame banget dong gunung kalo kayak gitu." Farhan tergelak mendengar jawabanku. "Kenapa kamu pilih gunung?" Tanya Farhan selanjutnya.

"Karena panas di pantai." Jawabku. Farhan mengangguk, "padahal lebih panas Jakarta. Tau." Sahutnya.

"Dikira Jogja nggak panas apa." Dumelku. Farhan tertawa.

"Ayu, masalah itu bukan dibawa kabur. Tapi dihadapi."

"Baik, Lord Farhan." Cetusku. Aku agak sangsi kalau lelaki ini ternyata punya bakat cenayang.

"Lalu, apa yang Lord Farhan lakukan disini? Sama-sama kabur?" Tanyaku skeptis. Farhan tertawa sumbang. Deru angin malam kian dingin. Sampai membuat gigi kami bergeletuk.

"Nggak juga, sih." Sahutnya tak yakin. "Lord Farhan, masalah itu bukan dibawa kabur. Tapi dihadapi." Aku nyeletuk, mengutip persis kata-katanya.

Farhan tertawa. Udara yang tadinya menusuk hingga tulang, pelan-pelan menghangat.

"Kamu lucu juga, ya." Aku berdecih, "aku memang badut."

Kami mempercepat langkah kaki kami sampai ke pos terdekat. Farhan memesan dua cangkir kopi yang kemudian ia tawarkan padaku.

"Katanya, paitnya kopi bisa setara sama paitnya kehidupan." Aku tergelak.

"Terserah kamu." Ujarku tak acuh, lalu menenggak kopi pemberiannya.

*****

Meet the new Ayu! 💕

NavyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang