RT 04

163 21 0
                                    

Pagi ini Minhyuk tidak bekerja. Selama Gikwang berada di sini, ia menyerahkan semua pekerjaannya pada sekertarisnya. Tepat sekali hari ini sudah berganti musim. Di awal musim setiap orang di Jepang memang selalu istirahat dan bersantai sejenak. Minhyuk malah berencana berada di dalam apartement selama musim semi berlangsung, tapi itu tidak akan terjadi, mengingat masih banyak pekerjaan yang menumpuk di kantor.

Dari atas balkon Minhyuk memandangi pemandangan di luar. Udara yang begitu cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang masih tersimpan di dalam hatinya. Kalau saja ia bisa mengutuk dirinya, pasti ia akan melakukannya. Dalam sekejap semuanya berubah. Hari-hari indah yang selalu ia jalani seketika berubah menjadi buruk karena ulahnya. Menyesal tidak ada gunanya. Keadaannya akan semakin memburuk, jika ia terus mengingat hal bodoh itu.

Gikwang datang membawa dua cangkir teh. “Kau tidak pulang?” tanya Minhyuk. Pertanyaannya sangat bodoh sekali. secara tidak langsung ia mengusir Gikwang dari sini. Maksudnya bukan seperti itu. Ia hanya tidak ingin Ayahnya semakin membencinya, karena Gikwang tidak mau pulang.

“Kau mau pulang? Baiklah, kita pulang,” jawabnya. Minhyuk menghela nafas. Gikwang sangat keras kepala.

“Kau sendiri saja. Aku tidak mungkin meninggalkan perusahaanku disini,” ujar Minhyuk mencari alasan.

“Alasanmu sangat tidak membantu. Kau bisa memindahkan kantormu di Korea, kan? Lagi pula setauku, kau mempunyai perusahaan cabang di Seoul. Kenapa kau tidak pindah saja?” ujarnya tersenyum menang. Astaga!

“Itu ide yang gila, hyung. Kau pulang dan jalani hidupmu seperti biasa. Aku akan melakukan hal sama di sini, arraseo!” ujarnya.

Shirreo! Tawaranku masih sama seperti kemarin,” tolaknya. Minhyuk mengusap wajahnya dengan kasar.

“Hei, hyung!!” rengek Minhyuk. Kali ini ia memasang wajah aneh. Entahlah, semoga saja kakaknya bisa luluh dengan cara bodohnya ini.

Bukannya merasa kasihan, justru Gikwang tertawa terbahak-bahak. Ia tertawa sangat geli sekali dengan sesekali menunjuk wajah aneh Minhyuk. Bukan ini yang Minhyuk harapkan. Suasana berubah mendadak serius. Minhyuk benar-benar serius kali ini. Dia ingin kakaknya mengerti dengan posisinya.

“Sebetulnya tujuan awalku tinggal di sini untuk lari dari masalah yang sudah ku perbuat. Aku memang orang pengecut yang tidak mau bertanggung jawab atas nyawa seseorang. Makian dari semua keluarga Yerin masih terdengar jelas di telingaku. Bahkan, setiap kali aku sedang sendirian, suara-suara itu terus berteriak di telingaku. Jujur saja aku merasa gila setiap kali mendengar suara-suara itu. Sempat aku mendatangi psikiater untuk konsultasi, tapi tidak ada hasilnya. Aku tidak bisa ke tempat itu lagi, hyung. Aku tidak sanggup,” jelas Minhyuk.

Ia terpaksa menjelaskan semua yang terjadi di sini. Ia mengira semuanya akan menghilang jika ia pergi jauh, tapi tidak. Bahkan suara-suara itu semakin jelas terdengar. Seolah-olah mereka masih berada dekat dengannya dan siap memakinya sepuas mereka. Gikwang menatap adiknya dengan sendu. Melihat bagaimana hancurnya Minhyuk juga membuatnya hancur.

“Kau seperti itu karena kau masih menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu! Berapa kali harus aku katakan, bukan kau yang menyebabkan Yerin meninggal,” ujar Gikwang.

“Ini salahku, hyung! Aku yang mengendarai mobil itu, aku yang bodoh tidak langsung menolong Yerin, aku yang tidak langsung membawa Yerin ke rumah sakit. Itu semua salahku. Secara tidak langsung aku yang membunuhnya! Kalau saja aku tidak memperdulikan diriku sendiri, mungkin Yerin masih ada. Keegoisanku yang membuat Yerin menderita,” ujar Minhyuk. Nafasnya naik turun. Dadanya semakin sesak membicarakan masalah ini.

“Kau tau takdir? Sebaik apapun kau menolong Yerin saat itu, dia akan tetap meninggal karena Tuhan lebih sayang padanya. Kalau kau seperti ini terus, sama saja kau tidak percaya dengan takdir Tuhan. Untuk apa setiap hari kau ke gereja, berdoa untuk Yerin, kalau kau saja tidak percaya dengan kuasa Tuhan? Untuk apa, Minhyuk-ah!” ujarnya. Kali ini Gikwang berteriak di hadapan adiknya.

“Karena aku berharap Yerin bisa memaafkanku disana. Aku belum sempat mengucapkan maaf padanya. Percakapan terakhirku dengannya malah aku pergunakan untuk berdebat hal yang tidak penting. Kalau aku tau dia akan pergi, aku tidak akan memaksanya masuk ke dalam mobilku. Ini sepenuhnya salahku,” jelasnya. Minhyuk melemah. Ia bahkan sudah tidak kuat menahan kakinya lagi. Seluruh badannya ingin terjatuh karena ia sudah tidak memiliki kekuatan apapun. Sumber kekuatannya sudah pergi mendahuluinya.

“Dengan kau seperti ini, Yerin malah akan membencimu. Ini semua murni kecelakaan. Kau mendengarnya langsung dari polisi, kan? Kalau polisi mengatakan kau pelakunya, seharusnya mereka sudah menangkapmu. Ayolah, Minhyuk-ah! Kau tidak bisa seperti ini terus,” ujar Gikwang.

“Aku juga tidak mau seperti ini terus, hyung. Lama-lama aku akan benar-benar gila dengan ini semua,” sambarnya.

“Jangan pernah menghindari masalah apapun. Kau kembali ke Korea, dan hadapai masalahmu. Aku yakin semuanya akan mengerti dan tidak lagi menyalahkanmu,” ujar Gikwang.

Minhyuk menatap kakaknya. Apakah ia harus kembali? Melangkahkan kaki di negara yang membuatnya kehilangan orang yang paling dia sayang? Apa semua orang juga menunggunya kembali? Atau hanya Gikwang dan Changsub saja? Aishh!

“Baiklah, aku akan kembali. Tapi aku tidak mau tinggal di rumah,” ujarnya. Gikwang mengangguk. Senyumnya mengembang dengan sempurna.

“Kau mengambil keputusan yang baik! Sore nanti kita berangkar, oke!” balasnya. Semoga saja Minhyuk memang mengambil keputusan yang terbaik. Ia akan mencoba beberapa bulan. Kalau ia semakin terpuruk, maka memang seharusnya ia tidak kembali ke sana.

~•••~

Setelah membaca di mohon meninggalkan jejak ya kawan :)

봄날의 기억 || Remember That ✓Where stories live. Discover now