RT 03

182 23 0
                                    

Tokyo, Jepang

Minhyuk terlihat bahagia melihat kehadiran kakaknya. Ia sangat terkejut begitu keluar dari kantor dan melihat kehadiran kakaknya. Entah angin dari mana yang membawa kakaknya mendatanginya sampai ke sini. Saat ini mereka sedang berada di kedai langganan Minhyuk. Banyak sekali pertanyaan yang akan ia tanyakan pada kakaknya. Mungkin sebaliknya juga seperti itu. Lee Gikwang, nama kakaknya.

"Sepertinya kau terlihat baik-baik saja," ujar Gikwang sedikit tertawa.

"Selalu. Aku selalu baik-baik saja, kau tau itu," jawabnya.

"Semua keluarga di Korea baik-baik saja," kata Gikwang. Baru saja Minhyuk akan bertanya, tapi kakaknya sudah terlebih dahulu tau apa yang akan ia tanyakan di awal pertemuan mereka. Sebisa mungkin Minhyuk tetap tersenyum, walaupun hatinya mengeluarkan air mata.

"Kau sendiri?" tanya Minhyuk.

"Ya. Sebetulnya Changsub ingin ikut, tapi kau taukan bagaimana Appa. Kalau saja aku tidak memaksa dengan keras, mungkin aku tidak akan sampai kesini," jelasnya.

"Kenapa kau seperti itu? Kalau Appa tidak mengizinkanmu untuk apa kau masih ke sini. Lagi pula kita bisa saling menghubungi seperti biasanya, tanpa harus bertemu secara langsungkan?" ujar Minhyuk.

"Jadi kau mengusirku? Kenapa sikapmu tidak pernah berubah. Selalu saja melawan dengan hyung-mu sendiri," balasnya. Minhyuk hanya bisa tertawa. Ia terlalu bahagia saat ini.

"Kau senang tinggal di negara ini?" tanya Gikwang. Minhyuk mengangguk. Bagaimana mungkin ia tidak senang, sementara ia sudah memiliki niat untuk mengganti kewarganegaraan.

"Tidak berniat untuk pulang?" tanyanya lagi. Minhyuk berhenti mengaduk ramennya. Kenapa harus hari ini? Tidak bisakah mereka bersenang-senang terlebih dahulu, baru membicarakan hal serius seperti ini? Beberapa saat terjadi keheningan. Gikwang terus menatap adiknya dengan sendu. Haruskah ia mengutarakan niatnya?

"Tidak. Hidupku sudah berada di sini sepenuhnya. Bahkan untuk kedepannya, aku berniat untuk benar-benar tinggal disini," jawab Minhyuk mulai menjelaskan dengan pelan. Sumpit yang di genggam oleh Gikwang terlepas begitu saja. Genangan air mata mulai menumpuk di sudut mata sipitnya.

"Kau menyerah? Dulu kau mengatakan pasti akan pulang suatu saat nanti. Kau sudah berjanji padaku. Lalu apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Gikwang.

"Hyung, aku bahagia disini. Aku bisa seperti ini karena kerja kerasku di negara ini. Kau taukan bagaimana sulitnya aku dulu? Karena negara ini, aku bisa berdiri sebagai seorang manusia yang layak," jelasnya.

"Aniya. Kau tidak bahagia disini. Tanpa keluarga, apa yang bisa membuatmu benar-benar bahagia? Setiap manusia memiliki keluarga. Kau belum menjadi manusia yang layak, jika kau tidak memiliki keluarga," ujarnya.

"Appa tidak pernah menginginkanku kembali. Biarkan Appa bahagia dengan Eomma, hyung, dan Changsub," ujarku mulai melemah.

"Hanya Appa yang bahagia. Aku, Changsub, dan Eomma selalu menunggumu pulang. Jebbal," ujar Gikwang.

"Hyung..."

"Aku tidak akan kembali kalau kau tidak ikut denganku," ujarnya menyambar pembicaraanku.

"Jangan begitu. Appa pasti menyuruhmu kembali. Sudahlah, biarkan aku hidup sendiri," ujarku.

"Aniyo. Aku tetap pada pendirian awalku," tolaknya.

Tidak ada yang berbicara. Minhyuk dan Gikwang berkutat dengan makanan mereka masing-masing. Minhyuk harus berpikir bagaimana cara untuk meluluhkan hati kakaknya. Memutuskan untuk pulang adalah cara yang terburuk. Appa sudah bahagia tanpa kehadirannya disana. Bukan hanya Appa, tapi juga keluarga Yerin. Tidak ada yang menginginkannya kembali menginjakkan kaki di Korea.

Minhyuk memutuskan untuk menyuruh kakaknya tinggal di apartementnya. Sepertinya Gikwang benar-benar nekat datang kesini. Ia hanya membawa passport dan beberapa uang. Ia tidak membawa pakaian atau kebutuhan lainnya. Chef terkenal sepertinya terlihat seperti gelandangan di Jepang. Untung saja tubuhnya dengan Gikwang tidak jauh berbeda. Hanya perbedaan tinggi saja. Minhyuk tidak perlu membelikan kakaknya pakaian terlebih dahulu.

"Kau tinggal disini sendirian?" tanyanya.

"Tentu saja. Memangnya aku harus tinggal dengan siapa lagi," jawab Minhyuk.

Gikwang cukup kagum dengan kesuksesan adiknya. Ia bahkan bisa membeli apartement yang mewah seperti ini. Kekuatan yang dimiliki Minhyuk memang luar biasa. Mungkin Gikwang harus belajar menjadi lebih kuat lagi untuk menghadapi Ayahnya. Sebagai anak pertama tentu Gikwang lebih banyak di kekang oleh ayahnya. Dalam segi apapun. Sampai pendamping hidup pun, ayahnya yang bertindak.

"Isi kulkasmu hanya ada ramen? Setiap hari kau makan seperti ini?" tanya Gikwang menatap adiknya tidak percaya.

"Tentu saja tidak. Aku jarang berada di sini, jadi aku hanya menyediakan makanan cepat saji," jelasnya.

"Kau punya rumah?" tanya Gikwang.

"Tidak, tapi aku sedang memikirkan hal itu," jawabnya.

Minhyuk melepaskan penat di sofa. Kakaknya masih saja berjalan-jalan menelusuri setiap sudut di apartement ini. Mungkin ia tertarik dengan apartement Minhyuk. Ia masih memikirkan ucapan Gikwang di kedai tadi. Bagaimana kalau Gikwang tidak akan mau pulang tanpa dirinya? Ia tidak mungkin kembali ke negara itu lagi.

"Bagaimana dengan Changsub? Beberapa kali aku menelfonnya, tapi tidak di angkat. Apa dia mengganti nomor ponsel?" tanya Minhyuk.

"Adikmu itu tumbuh menjadi manusia yang super sibuk. Setelah ia lulus, ia langsung bekerja di rumah sakit pusat. Kau tau bagaimana sibuknya seorang dokterkan? Dia seperti itu," jawab Gikwang. Pantas saja. Terakhir kali Changsub menelfon Minhyuk saat dia wisuda. Setelah itu Changsub tidak bisa dihubungi.

"Dia pasti jadi kebanggaan Appa," ujarnya pelan. Minhyuk menundukkan kepalanya. Lagi-lagi ia merindukan keluarganya. Walaupun ia sudah tidak dianggap keluarga oleh Appa nya, tapi Minhyuk tetap memikirkan keluarganya. Setiap saat pasti ia merasa rindu dengan suasana keluarga.

"Tidak juga. Setelah kau pergi, Appa benar-benar semakin menjadi. Dia bahkan terus memaksa aku dan juga Changsub. Terutama aku. Di samping menjadi Chef, aku harus mengurusi perusahaan di kantor. Beruntung saja Changsub tidak sepertiku," jelas Gikwang.

"Itu semua karena aku. Kalau saja aku tidak membuat perusahaan Appa memburuk, pasti Appa tidak akan menjadi seperti sekarang," ujar Minhyuk.

"Jangan mengungkit masa lalu itu. Kau akan semakin merasa bersalah pada semua orang. Ingatlah, semuanya sudah berlalu, arraseo!" ucapnya. Minhyuk tersenyum kecil. Ia bisa sedikit tenang ada kakaknya disini. Walaupun hanya beberapa orang yang menganggapnya, tapi tidak jadi masalah.

~•••~

Setelah membaca di mohon meninggalkan jejak ya kawan :)

봄날의 기억 || Remember That ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ