Luka 13 : Celaka

2.3K 127 1
                                    

Seseorang harus membayar
kesalahannya dengan sebuah
pengorbanan.

-o-

SUASANA lapang basket indoor SMA Merdeka tampak ramai. Tribun yang mengelilingi lapangan penuh berdesakan yang didominasi oleh kaum hawa. Berteriak menyemangati pemain andalan SMA-nya yang berlatih untuk tanding bulan depan.

Kabar Kala dan Ibra yang akan ikut main dalam pertandingan itu langsung tersebar ke setiap pelosok sekolah. Kesempatan untuk menonton sang mantan kapten basket yang akan kembali bermain tak disia-siakan kaum hawa. Kala. Dia itu The King Of Basketball-nya SMA Merdeka.

Siapa yang akan mengabaikan peluh yang mengalir di wajah Kala saat berlarian menggiring bola berwarna orange itu? Keadaan lapangan indoor yang sepi beberapa bulan belakangan ini karena Kala sudah tidak aktif lagi di basket sekarang kembali sesak.

Kala tersenyum puas saat melihat bola yang ia lempar dari jauh sukses masuk ke dalam ring. Kala ngusap peluh dengan punggung tangannya kemudian berjalan menuju pinggir lapangan.

Kala meneguk habis air dari botol mineralnya. Jakunnya yang naik turun sukses membuat beberapa pasang mata tak berkedip dibuatnya. Memekik tertahan. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Kala menyampirkan tasnya di bahu kanan lalu menengok pada teman-temannya yang masih betah di tengah lapang.

"Woy! Gua cabut!"

"Yoi."

"Ke rumah doi?" tanya Ibra, Kala menjawab dengan menunjukkan ibu jarinya. Setelah itu berjalan meninggalkan keramaian lapang basket itu. Beberapa menit kemudian sebagian besar siswa siswi yang menonton ikut membubarkan diri padahal latihan pun belum usai.

----

Kala menghentikan motor sportnya saat merasakan handphonenya terus saja berbunyi. Girsa menghubunginya. Setelah beberapa hari ini tak ada kabar. Kala menaruh benda pipih itu di telingaya.

Belum selesai Kala menyapa, Girsa sudah menyambar.

"Kal, Kala.. tolong, sakit.. hiks..hikss." Girsa menangis tersedu di seberang sana.

"Lu kenapa?"

"Sakit, Kal.. pliss tolong.."

"Dimana?"

"Apartemen.. hiks.. alamatnya udah aku kirim," ucap Girsa dengan suara bergetar. Kala langsung memutus sambungan secara sepihak dan kembali melajukan motornya. Kali ini dengan kecepatan di atas rata-rata.

Jika ditanya, apakah Kala khawatir dengan keadaan Girsa. Tentu saja dia khawatir. Meskipun Kala tak menyukai Girsa namun bukan berarti dia harus benci bukan? Apalagi saat Girsa memberitahu keadaannya kepada Kala. Wajar saja Kala menjalankan motornya tanpa mempedulikan keselamatannya juga teriakan demi teriakan terlontar diselingi makian untuknya di sepanjang perjalanan.

Kala meninggalkan motornya di basement kemudian masuk ke dalam lift untuk sampai di lantai 21. Kala berlari di lorong apartemen melewati pintu demi pintu setelah melihat nomor kamarnya.

Saat sampai di depan pintu no 201 Kala mengetuknya tak sabar seraya memanggil Girsa. Namun pintu tak kunjung juga terbuka.

Luka (Completed)Where stories live. Discover now