Eps 18. Dandelion

4.2K 175 0
                                    

Hello gais!
Gue minta maaf soal episode 15-17 yang susunan paragraf nya berantakan, kapan-kapan gue bakal revisi. Dan ya sorry karena alur cerita gue tuh terkesan ngalir ya, prediksi gue sih nih cerita bakalan panjang. I hope you enjoy with my story.

-----
.
.

“Kalo lo aneh-aneh, gue bakal batalin semua donatnya!”

“Eh jangan dong,” rengek Avea.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama, akhirnya mereka tiba di tempat yang dimaksud Vero.

“Lo nggak macem-macem kan? Ini sepi banget!” Avea tampak ketakutan sendiri.

“Inget tuh kata gue yang tadi!” Vero keluar dari mobilnya.

Avea nampak mengingat-ingat perkataan Vero, “Udahlah diem, lo tau nggak sih, gue nggak bisa action kayak didrama korea. Gue nggak bisa ngegoda lo lebih lanjut. Jadi lo diem aja!”  setelah mengingatnya, ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Avea bergegas menyusul Vero yang berjalan duluan. Kata pertama yang muncul dari mulut setelah melewati gerbang kecil itu adalah,
“Indah!” seru Avea.

“Seindah bunda gue,” sambung Vero.

“Hah maksudnya?” Avea nampak kebingunan, akan tetapi Vero menatapnya dengan senyuman manis.

“Ini sebenarnya tempat pemakaman bunda gue Ve,” Vero menatap gundukan tanah di daerah timur taman itu.

“Oh maaf, gue nggak maksud Vero,” senyum sumringah Avea seketika hilang, karena mengetahui tempat ini bukanlah taman, melainkan sebuah area pemakaman.

Vero berjalan menuju makan bundanya, “Liliana Rosela Wicaksana” Vero membaca tulisan itu dengan suara lirih.

“Bunda, Vero kangen!” ucapnya dengan suara lemah.

Avea sudah tak kuasa menahan tangisnya, ternyata dibalik tingkah dekil Vero, inilah sisi asli Vero sangat lemah dan rapuh. Avea menghampiri Vero, ia hendak menepuk pundak Vero untuk memberi semangat, akan tetapi niatnya itu ia urungkan karena ia ingat betul bahwa Vero masih mempunyai trauma.

Vero membersikan rumput liar yang tumbuh dimakam bundanya itu, ia sembari bercerita tentang kehidupannya, ya walaupun dia tau benar bahwa kemungkinan kecil bundanya akan mendengarnya di sana dan sungguh keajaiban bila mendiang menjawab.

“Lo kenapa nangis?” tanya Vero kepada Avea yang hanya diam sedari tadi.

“Eh.. Ini.. Eng-enggak tuh, kayaknya serbuk bunga-bunga disini masuk ke mata gue deh,” Avea mengelak kenyataan bahwa ia menangis.

“Gue udah selesai, mau lihat sunset disana nggak?” Vero menunjuk kursi yang menghadap kebarat itu.

“Lo yakin? Lo nggak apa-apa?” tanya Avea yang heran, sebab ekspresi wajah vero sudah kembali seperti biasa, menyebalkan.

“Gue udah lama gini, jadi gue ikhlasin bunda gue, gue paham kalau Tuhan lebih sayang bunda gue,” jelas Vero.

Mereka berdua menuju kursi itu. Sejenak diantara mereka tidak ada yang bersuara,

“Lo tau nggak?” ucap mereka secara bersamaan.

"Gue sih nggak tau!" jawab mereka bersamaan dengan nada ketus masing-masing. Selepas itu mereka tertawa garing, cukup singkat keadaan kembali hening.

“Lo dulu aja deh Ro,” Avea canggung sendiri. Vero menganggukkan kepalanya.

“Lo tau nggak alesan gue pilih tempat pemakaman bunda gue disini? Di tengah hamparan dandelion ini?” tanya Vero dengan mata yang memandang lurus kedepan.

SAVEA - [COMPLETED]Where stories live. Discover now