Bagian 48 (Catatan Yunan)

Comenzar desde el principio
                                    

Tangan mungil menyentuh punggungku. Aku menengok ke belakang. Ternyata benar yang berdiri di belakangku adalah Arisa. Gadis kecil berambut pendek yang seumur denganku itu, matanya sembab. Dia ikut menemaniku menangis sejak tadi pagi. Tadinya kupikir dia sudah pulang.

"Yunan, ayo kita pulang," kata Arisa mengucapkannya setengah memohon.

Pulang ke mana? Rumah yang tak ada bapak dan ibu, apa masih bisa disebut rumah?

Aku melihat ibunya Arisa berdiri di dekat gerbang pekuburan.

"Kamu ditungguin tuh sama ibumu. Duluan aja, ntar aku nyusul," jawabku.

Arisa menggeleng. "Ayo kita pulang sama-sama."

Aku menoleh ke gundukan tanah yang kini menjadi tempat peristirahatan orang tuaku.

"Aku masih mau di sini," kataku.

Sebenarnya, aku khawatir. Aku pernah mendengar dari ibu, setelah pelayat terakhir melangkah meninggalkan yang dikubur, di langkah ketujuh, malaikat akan muncul di alam kubur dan menanyakan berbagai urusan semasa hidup kepada ruh orang yang baru saja dikubur.

Itu sebabnya aku belum mau beranjak dari tempatku sekarang. Aku ingin ada di sini selama mungkin.

Arisa seperti tahu yang kupikirkan. "Jangan takut, Yunan. Hukuman hanya untuk orang jahat. Bapak ibumu 'kan orang baik."

Aku masih ragu untuk beranjak. Arisa menggenggam tanganku. "Ayolah, Yunan. Kamu 'kan belum makan siang. Makan, yuk."

Aku menghela napas. Arisa selalu seperti ini, dan aku selalu berakhir menurutinya.

"Iya," ucapku. Dengan berat hati aku berdiri dan melangkah ke arah gerbang pekuburan.

Di bawah sadarku, aku menghitung langkahku sendiri.

Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh.

Kakiku gemetar dan pandanganku kabur karena air mata. Aku jatuh ke tanah dengan posisi jongkok. Kubenamkan wajahku yang tengah banjir air mata.

"Yunan?" Suara Arisa terdengar cemas.

Aku mengerti, bahwa semua orang akan pergi.

Bahwa seperti yang ibu selalu ingatkan padaku, kematian adalah sebuah kepastian.

Aku juga yakin, seperti yang ibu selalu bilang, bahwa Tuhan tak akan membebani hamba-Nya melebihi dari kemampuannya.

Tapi kenapa mereka harus pergi bersamaan?

Apa aku sekuat itu?

Padahal, seperti yang orang-orang bilang, aku hanyalah seorang anak berumur delapan tahun.

Tubuhku terasa hangat. Arisa merangkulku. Tak lama kemudian, ibunya Arisa menghampiriku dan membantuku berdiri.

Kami berjalan bersama. Tapi rupanya aku tidak hanya diantar Arisa dan ibunya. Kucing belang putih hitam itu mengikutiku ke rumah.

.

.

Seminggu setelah bapak dan ibu meninggal dunia.

Mataku menerawang. Kulirik jam weker di samping kasur lipat. Pukul sembilan pagi. Biasanya, saat bapak dan ibu masih ada, di waktu ini aku sudah menyapu, beres-beres, sarapan, mandi, salat sunnah Dhuha, dan mungkin sekarang seharusnya sedang zikir dan membaca Qur'an.

Mestinya, sepeninggal mereka, aku lebih rajin mengerjakan itu semua. Tapi aku merasa tubuhku enggan melakukan apapun.

Sulit sekali rasanya untuk kembali melakukan rutinitas seperti dulu. Setiap gerakan yang kulakukan mengingatkanku pada kebiasaan bapak dan ibuku.

ANXI (SEDANG REVISI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora