BAB 10 :: Kecewa

Mulai dari awal
                                    

"Please, Dok." Kali ini Erland memasang wajah serius dan semelas mungkin agar Dokter Fabian mau mengasihaninya.

"Baiklah, tapi kamu tidak akan pergi sendiri. Karin akan mengantar kamu, dan saya tidak menerima penolakan. Diantar atau tidak pergi sama sekali."

Laki-laki itu mengangguk pasrah, begitu pula Karina yang tak bisa membantah ucapan sang ayah.

***

Sejak pulang tadi, Reina sama sekali tak keluar kamar, membuat Arlan tergerak untuk menghampirinya. Ini jelas bukan kebiasaan putrinya. Sepulang sekolah Reina selalu menyempatkan diri untuk bermain bersama Reka, tapi tidak hari ini. Padahal Renata, Reina, dan Reka tadi pulang bersama.

Arlan sengaja masuk kamar gadis kecilnya tanpa mengetuk pintu, ingin tahu apa yang sedang dilakukan Reina. Yang didapatinya cukup mengejutkan. Reina terdengar sedang menangis.

"Rei, kamu kenapa?" tanya Arlan panik. Ia takut kalau putri bungsunya itu mengalami kekerasan atau tindakan tidak menyenangkan lainnya di sekolah tadi.

Reina bangkit dari posisinya, lantas menghambur ke dalam pelukan sang ayah. "Ayah," ujar gadis itu di tengah-tengah tangisnya.

"Hei, putri Ayah kenapa nangis?" Arlan kembali bertanya sembari mengusap-usap puncak kepala Reina.

"Ayah tahu nggak kenapa aku gak pernah iri sama Aa? Walaupun sejak kecil Ayah sama Bunda selalu manjain Aa."

Arlan menggeleng.

"Karena aku tahu Aa nggak sekuat kelihatannya. Aa emang lebih butuh Ayah sama Bunda daripada aku. Aku mau Aa bahagia, Yah, tapi kenapa kebahagiaan itu nggak pernah berpihak sama Aa?"

Arlan terhenyak mendengar pernyataan putrinya. Tidak pernah berpihak? Ia merasa telah melewatkan sesuatu. Ada yang Reina ketahui, tapi tidak Arlan mengerti. "Maksudnya, sekarang Aa lagi nggak bahagia? Apa yang buat Aa nggak bahagia?"

Reina bungkam seribu bahasa. Andai saja ia bisa mengungkapkan semuanya pada sang ayah sekarang juga, pasti rasanya tidak akan sesakit ini. Apa gunanya mengetahui sesuatu kalau tak bisa berbuat apa-apa pada akhirnya? Reina hanya bisa menyaksikan kakaknya terluka lagi dan lagi.

"Rei, tolong jawab pertanyaan Ayah."

"A--Aa bahagia kok."

Rasa gugup yang Reina membuat pertanyaan Arlan terjawab. Memang Erland tidak baik-baik saja sekarang. Baiklah, Arlan akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi. Tidak akan melibatkan dan membebani Reina.

"Kalau Aa bahagia dan baik-baik aja, Rei jangan nangis. Putri kesayangan Ayah nggak boleh cengeng, sepakat?"

Gadis itu mendongak, menatap netra teduh sang ayah, kemudian mengangguk. "Makasih, Yah."

***

Karina merasa cemas melihat wajah pasien ayahnya begitu pias. Sejak lima menit yang lalu mereka sampai di tempat tujuan, tapi Erland belum juga turun. Karina mengerti alasannya. Laki-laki itu sakit dalam diam, tidak ada seorang pun——keluarga atau teman——tahu. Penampilannya yang kacau pasti membuatnya kebingungan.

"Anda kenapa?"

Erland menoleh memaksakan seulas senyum. "Muka saya pucat, ya? Bingung gimana biar ada wananya."

Ada warnanya. Kalimat macam apa itu? Namun, tiba-tiba saja sesuatu muncul di kepalanya. Warna. Di mobil ini selalu ada tas berisi peralatan make up miliknya. Karina bisa memanfaatkan itu untuk memanipulasi wajah Erland. Ada untungnya juga mereka pergi menggunakan mobil Karina, walaupun tidak semewah mobil Erland, tapi ada yang bisa menolong dalam kondisi seperti ini.

"Coba menghadap ke sini. Saya akan mendandani Anda."

***

Alvin yang sampai lebih dulu harus rela menunggu Erland. Ia sengaja memilih tempat ini karena lokasinya tidak begitu jauh dari rumah sakit. Seandainya Hana membutuhkan sesuatu berkaitan dengan Alana, Alvin tidak akan memakan waktu lama untuk meluncur kembali ke sana.

Prediksinya, Erland baru akan sampai sekitar setengah jam lagi karena tempat mereka bertemu cukup jauh dari kantor laki-laki itu. Tapi dugaannya meleset tatkala melihat orang yang ditunggunya kini melenggang memasuki kawasan kafe.

Erland tampak celingak-celinguk mencari keberadaan sahabatnya, mendorong Alvin melambaikan tangan untuk sekadar membuat pria itu tahu posisinya.

Dengan senyum mengembang Erland berjalan ke arahnya. "Woi!" sapanya.

Alvin bersikap tak biasa. Tak menyahuti dan malah melemparkan tatapan sengit.

Menyadari hal itu, Erland menghentikan basa-basinya. Ia mengambil posisi duduk tepat di hadapan Alvin, kemudian bertanya, "Lo kenapa?"

"Gue sebenarnya nggak percaya, tapi gue juga harus memastikan kebenarannya."

"Apaan sih? Serius amat."

"Apa benar lo kirim orang buat mukulin Haikal? Kalau itu benar, lo tahu, Lan, gue bakal kecewa berat sama lo. Nggak nyangka kalau sahabat gue bisa berbuat serendah itu."

Erland tersenyum miring. "Lo sadar nggak kalau pertanyaam lo itu lebih mirip orang yang lagi menghakimi daripada bertanya? Lo bilang nggak percaya sama semua itu? Kalau lo nggak percaya lo gak bakal tanya itu ke gue, Vin."

"Lo tinggal jawab iya atau nggak, Lan. Gak harus berbelit-belit."

"Lo masih tanya, Vin? Lo kenal gue bukan setahun, dua tahun. Sejak kapan gue bertingkah sepengecut itu? Sumpah, ya, Vin, baru kali ini gue merasa sangat menyesal buang beberapa menit gue yang berharga cuma demi meladeni pertanyaan konyol lo. Dan untuk pertama kalinya juga gue kecewa sama lo. Gue pikir lo bakal jadi satu-satunya orang yang tahu dan mengerti posisi gue, ternyata nggak.

Harusnya pertanyaan itu lo tanyakan sama diri sendiri, apakah sahabat lo ini benar-benar seperti yang dituduhkan? Itu juga kalau lo anggap gue sahabat sih. Lain kalau ternyata yang lo anggap sahabat cuma Haikal."

Alvin diam. Pertanyaannya belum terjawab, tapi hatinya seakan dihantam batuan besar. Ada rasa sakit ketika Erland mempertanyakan persahabatan mereka.

"Satu lagi, jangan pernah ikut campur masalah rumah tangga gue kalau lo nggak tahu apa pun. Karena jujur, campur tangan lo malah buat gue sedih dan merasa gak punya alasan lagi buat bertahan. Gue pamit, masih banyak pekerjaan penting yang harus gue urusi."

Erland bangkit dan benar-benar melangkah meninggalkan sahabatnya. Tidak bisakah hidupnya lebih buruk lagi setelah ini? Sakitnya semakin menjadi, lukanya kian dalam. Satu per satu orang yang ia sayangi membuatnya terjerembap ke dalam lubang putus asa.

Bersambung ....

***

HAI ADA YANG KANGEN SAMA CERITA INI? :")
Aku baru ada mood buat lanjut.

Btw, jawab pertanyaan erland dong. Bisakah hidup Erland lebih buruk lagi? :")

Without youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang