Bagian~21

3.9K 499 55
                                    

"Gimana kondisi Sadi sekarang? Jadi dirawat di rumah nggak?" tanya Nara yang baru siang ini berkesempatan datang ke rumah sahabatnya itu.

Rendra mengangguk pelan. "Udah jauh lebih baik. Memang amannya dia dirawat di rumah, sekarang lagi tidur dianya."

"Bagaimana bisa ada orang yang berniat nyelakain dia?"

Rendra menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Dengan raut wajah lelah iapun menjawab, "Panjang ceritanya, Nar. Yang pasti orang itu harus segera ditemukan sebelum orang itu nyiapin rencana baru lagi buat nyelakain Sadi."

"Pelakunya itu, laki-laki atau perempuan sih, Ren? Kok kayaknya udah ahli gitu ya, sampai ngerusakin CCTV segala supaya tindakannya nggak kerekam."

"Belum ketauan, Nar. Tapi dari postur tubuhnya sih, besar kemungkinan pelakunya itu perempuan." suara Rendra terdengar lesu saat mengingat lagi kelalaiannya.

"Trus Sadinya sekarang gimana? Kayak orang ketakutan gitu, nggak?"

"Setelah sadar dianya lebih banyak diam. Waktu aku tanya dia ngeliat muka orangnya atau nggak, dianya nggak ngejawab apa-apa. Tapi, ngeliat dari sikapnya itu, aku yakin kalau dia bisa saja kenal sama pelakunya."

Melihat raut wajah Rendra yang diliputi banyak sekali rasa, yang entah itu penyesalan, kemarahan, atau mungkin juga putus asa, respon Nara hanyalah mengerutkan dahinya bingung. Karena setahu Nara, Rendra itu bukanlah tipe orang yang bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Jadinya, selain muka datar, ekpresi yang bisa di lihat dari wajah Rendra hanya kerutan di dahi.

Tidak ingin menggangu suasana hati sahabatnya itu, maka Nara mencoba mengalihkan pokok pembicaraan dengan menanyakan pertanyaan yang menurut Nara sendiri adalah pertanyaan yang tidak penting. "Yang nyediain minum tadi asisten rumah tangga yang baru ya, Ren? Keliatan berpengalaman gitu orangnya."

Rendra sendiri langsung mengangguk tak mempermasalahkan pertanyaan aneh sahabatnya itu. "Iya... sengaja aku nyuruh Bima nyari yang berpengalaman supaya Sadi cuma perlu mikirin dirinya aja."

"Nginap?"

Kembali Rendra mengangguk. "Sengaja nyari yang bisa nginap, jadi kalau malamnya Sadi mau makan apapun ada yang bisa langsung masakin."

Tanpa disadari ada segaris senyum yang terbentuk di bibir Rendra saat mengingat sosok rapuh yang selalu berusaha terlihat tegar di depan semua orang itu.

Jangan ditanya apa penyebab senyum itu terukir di bibir Rendra, karena dengan pemaksaan seperti apapun Rendra tidak akan memberikan jawabannya. Alasan terbesarnya hanyalah, Rendra cuma ingin hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Bahkan sosok rapuh itu juga belum saatnya tahu apa yang berusaha Rendra rahasiakan darinya.

"Aku dengar Ira didorong sama Eleora. Calon anak kalian nggak apa-apa, kan?" tanya Rendra untuk mengalihkan pokok pembicaraan, agar tidak melulu membahas dirinya.

Nara yang duduk di depan Rendra juga ikut menyandarkan punggungnya. "Syukurnya sih nggak ada hal buruk yang terjadi sama calon anak kami. Dan untungnya waktu itu ada Via di sana, yang dengan sigap jadiin badannya sebagai kasur waktu nolong Ira."

"Kok Eleora bisa sampai nekad gitu ya?"

"Nggak taulah. Untung aja Iranya nggak apa-apa. Kalau nggak, pasti aku udah bikin perhitungan sama dia." jawab Nara yang terlihat sekali masih menyimpan amarah dari sorot matanya.

"Iranya nggak apa-apa kamu tinggal ke sini?"

Gantian Nara yang tersenyum saat mengingat istri mungilnya. Bahkan amarah yang tadi terlihat dari sorot matanya saat mengingat sang mantan istri berubah menjadi lembut saat menceritakan, "Sempat ngambek sih dikit tadi. Cuma setelah dibujuk sama ibu Fatma akhirnya dia ngebolehin aku pergi. Biasalah, kan ada beberapa ibu hamil yang makin besar usia kehamilannya maka akan semakin manja. Dan Ira itu kalau malam nggak bisa tidur kalau nggak ngeringkuk di bawah ketiak aku. Lucukan tingkah istri aku itu?" Nara terkekeh senang di akhir kalimatnya.

Harapan Di Ujung Senja [TTS #2 | TAMAT]Where stories live. Discover now