Bagian~16.a

4.2K 387 24
                                    

Wanita paruh baya yang rambutnya hampir memutih keseluruhan karena usia juga pikiran itu berulang kali menghela napas lelah.

Di pandanginya ke seluruhan ruangan yang didominasi warna putih, dimana ia dirawat dengan tatapan nelangsa. Andai saja kondisi kesehatannya tidak menurun drastis, tentu ia tidak akan dirawat di rumah sakit ini, dan keinginannya untuk bertemu dengan sang anak yang begitu dirindukan tentu tidak akan tertunda. Yang besar kemungkinan rencana yang disusun akan gagal jika kondisinya tak juga membaik.

Dalam beberapa jam terakhir banyak sekali kalimat pengandaian menari di benaknya. Andai ia tak mengalami kecelakaan, andai kedua kakinya masih bisa digunakan untuk berjalan, andai saja dirinya yang pengecut tak dikalahkan oleh rasa takut, sampai dengan kata andai ia berani keluar dari sarangnya untuk kemudian melindungi dia yang disayang dalam buaiannya.

Jika dipikirkan lagi, banyak sekali penyesalan yang kini menumpuk di hatinya. Dimulai dari ketidak-berdayaannya melindungi dia yang disayang, hingga membiarkan dia yang disayang bergelut dalam penderitaan.

Tanpa terasa buliran cairan bening itu kembali mengalir melalui kedua sudut matanya. Wanita paruh baya yang selalu menangisi kegagalannya melindungi seseorang yang dikasihi itu kembali menghela napas panjang dan terdengar berat. Seakan ada bongkahan batu besar yang menindih dada dan kemudian menghalangi jalur pernapasannya.

"Tenanglah, bunda." terasa genggaman erat di tangannya. "Kita pasti akan mencari cara lain untuk mengeluarkannya dari sana."

"Selalu saja bunda yang menghambat langkah kamu ya, nak? Sakitnya bunda selalu menghentikan langkahmu yang sudah siap maju ke depan." keluhnya pilu membayangkan kondisinya yang membuat langkah pria muda yang duduk di sampingnya tersendat hanya karena mengurusinya.

Pria itu menggeleng. "Bunda itu bundanya aku juga, jadi sudah sewajarnya aku mengurusi bunda disaat sakit."

Wanita paruh baya yang matanya sembab karena banyak menangis itu tersenyum sedih. "Sekarang, bunda sepertinya sudah tidak lagi layak dipanggil bunda. Karena nggak ada seorang ibu yang di sini hidupnya serba berkecukupan membiarkan orang yang dikasihinya menderita sendirian di dalam penjaranya."

"Jangan ngomong gitu, bun."

Wanita itu menggeleng pelan. "Memang itu kenyataannya, nak. Kalau saja bunda nggak ngeyel pengen mandi sendiri tanpa bantuan suster, tentunya bunda nggak akan jatuh dan menghentikan niat kamu untuk mengeluarkan dia dari sana."

Gantian pria muda itu yang menghela napas perlahan sambil mengelusi tangan dalam genggamannya. "Masih banyak waktu buat kita untuk kembali menyusun rencana."

"Bunda takutnya dia yang tak mampu lagi bertahan. Dan saat kita bertindak, semuanya malah sudah terlambat."

"Aku janji, bun," terlihat tekad yang terpancar dari mata pria muda itu saat mengucapkan janjinya. "Setelah bunda sehat dan nggak lagi dirawat di sini, aku bakalan ngambil tindakkan untuk ngeluarin dia dari sana. Dan aku nggak akan diam aja ngebiarin dia menderita untuk waktu yang lebih lama lagi."

Wanita paruh baya itu mengangguk mantap, mempercayai apapun yang diucapkan anaknya.

Lalu keheningan yang menyesakkan kembali melingkupi kedua sosok yang sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang satu terkekang oleh rasa penyesalan juga rasa bersalah yang sangat, sedangkan yang satunya lagi sibuk memikirkan mengenai rencananya yang tertunda.

Tidak ada perlu disalahkan akibat tertundanya rencana mereka untuk mengambil kembali si dia yang dikasihi. Semuanya murni berasal dari kehendakNya yang belum merestui langkah mereka yang mungkin saja belum saatnya dijalankan. Jika diriNya sudah berkehendak, maka sebagai hamba mereka hanya bisa mengikuti.

Harapan Di Ujung Senja [TTS #2 | TAMAT]Where stories live. Discover now