Bagian~14

3.9K 393 11
                                    

"Pelaku yang melukai Sadi, sudah kau temuka siapa orangnya?"

"Maafkan saya sebelumnya, tapi penelusuran kami menemui jalan buntu."

"Rekaman CCTV, apakah tidak bisa membantu?"

"Pelakunya menggunakan penutup kepala juga masker untuk menutupi wajahnya, jadi sulit buat kami menemukan jejaknya. Bahkan beberapa orang yang hari itu menunggu saya dan nona Sadi di area parkir juga di bagian depan, tidak melihat orang-orang yang mencurigakan melewati mereka. Tapi kami berjanji, kami mencari tahu lebih giat lagi dan sesegera mungkin menemukan pelakunya."

"Kalau begitu, perketat penjagaan di rumah! Sampai pelakunya tertangkap, pastikan keselamatan Sadi harus yang diutamakan. Karena tidak mungkin orang itu hanya sekedar iseng kalau sudah sampai berani melukai orang seperti itu. Pasti pelakunya memiliki niat yang tidak baik kepada Sadi."

Titah itu dijawab dengan tegas oleh sang bawahan. "Akan saya laksanakan."

Kibasan tangan ringan menjadi penanda jika sudah saat Bima meninggalkan atasannya seorang diri. Terlihat jelas jika atasannya itu sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Tidak ingin menambah masalah, tentu saja Bima langsung pamit dan meninggalkan sang atasan dalam kesendirian.

Yakin jika ia telah ditinggal sendirian dalam berada di ruang kerjanya, tatapan keras Rendra berubah menjadi hampa saat menatap meja kerjanya yang ditumpuki beberapa berkas. Jika di awal dulu Rendra sangat enggan menyebut nama wanita muda yang beberapa bulan ini menjadi bunga penghias di rumahnya, kini bibirnya seakan tak mau berhenti menyebut nama wanita muda itu jika ada kesempatan.

Entah apa yang terjadi pada dirinya kini. Rendra yang telah menjalani pahit manisnya hidup tetap tak bisa mengartikan apa penyebab hatinya selalu merasa gundah, sakit melihat wanita muda itu tak lagi memiliki semangat hidup-padahal itulah yang diinginkannya sedari awal, dan yang terakhir Rendra bahkan menangis tanpa sebab yang jelas.

Jelas ada yang lain di dirinya. Perasaan asing ini belum pernah sekalipun Rendra rasakan seumur hidupnya. Bahkan tidak saat ia mengalami yang namanya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, yang sangat Rendra sesali cintanya itu jatuh ke wanita yang salah.

"Aku ganggu nggak, Ren?"

Baru saja Rendra ingin menelaah dan menguak apa yang dirasakan oleh hatinya yang terdalam, tiba-tiba datang pengganggu yang dari suaranya pun sudah bisa Rendra kenali. Bahkan beberapa detik yang lalu, sosok ini sempat masuk dalam pemikirannya.

Menaikkan kepala, di pandanginya sosok Areta yang melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa dipersilahkan. Wanita itu bahkan tanpa sungkan dan malu langsung mendudukkan dirinya di hadapa Rendra yang dibatasi sebuah meja.

Diakui Rendra wanita yang duduk di hadapannya masih secantik yang dulu. Senyum wanita itu masih sanggup memikat para pria yang melihatnya. Namun bagi Rendra yang tahu bahwa senyum itu hanyalah sebuah kedok untuk mencari mangsa baru, senyum wanita tak berarti apa-apa untuknya.

Maka dengan ketenangan yang sudah terlatih selama bertahun-tahun, meski keinginan untuk melempar wanita itu keluar dari ruangannya begitu besar, dengan suara datar Rendra berkata, "Aku harap kedatanganmu ke kantorku ini yang tanpa permisi tidaklah membawa rencana busuk lainnya. Karena sungguh, jika sampai itu kau lakukan, aku sendiri yang akan memberimu pelajaran yang seumur hidup tidak akan kau lupakan!"

Areta tersenyum sekilas, walau dalam hatinya ia merasa takut dan juga gentar. Siapa sangka, pria yang dulunya selalu berlaku lembut kepada semua wanita di sisinya bisa berubah seperti ini. Penuh dengan kewaspadaan, getir, dan kata-katanya selalu tajam saat berucap.

Harapan Di Ujung Senja [TTS #2 | TAMAT]Where stories live. Discover now