Bagian~17

4K 532 83
                                    

Sadi menatap menatap bayangan dirinya di cermin. Terlihat jelas di satu sisi pipinya memiliki bekas yang tak enak di pandang, lebam yang meninggalkan warna ungu menjijikkan itu masih menyisakan rasa sakit yang coba ditahannya. Juga jangan lupakan rasa perih yang sangat di kepalanya yang Sadi sendiri tidak mampu untuk melihat luka seperti apa yang ada di kepalanya saat ini. Sedangkan mata yang balas menatap balik dirinya tak lagi memiliki cahaya, redup karena dipadamkan dengan begitu kejamnya.

Saat terbangun subuh tadi, lagi-lagi Sadi berada di kamar orang yang selalu menjatuhkan tangan padanya di setiap ada kesempatan. Sama seperti beberapa hari yang lalu, pria itu juga tertidur di sampingnya, menggenggam erat sebelah tangannya, hingga Sadi memerlukan usaha lebih untuk membebaskan diri dan segera keluar dari kamar yang memberikan ketakutan tersendiri untuknya.

Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, Sadi sudah membersihkan diri sedari matahari belum menampakkan sinarnya. Tak peduli sekujur tubuhnya terasa sakit, rutinitas yang sudah dijalaninya selama beberapa bulan terakhir tetap tak ingin Sadi ubah.

Sambil memandang bayaangannya di cermin, perlahan tangan Sadi terangkat, lalu kemudian menyentuh helaian rambutnya yang sudah melewati punggung. Dan kata-kata menyakitkan yang diucapkan pria itupun kembali terngiang, membuat hatinya yang telah terluka kembali berdarah.

"Pelacur hina sepertimu, tidak seharusnya memiliki rambut bagus seperti ini. Tak pantas buatmu untuk membuatnya tampak indah."

Sadi menghela napas perlahan, tangan terangkat dan menekan kuat dadanya saat rasa sesak yang menyakitkan terasa menghimpit di dalam sana. Tak pelak kata-kata kasar itu langsung menembus hingga ke lubuk hatinya, bagaikan pisau yang menyayat dan meninggalkan luka di setiap sayatannya. Entah kesalahan seperti apa yang pernah dilakukannya, sehingga cobaan yang sangat berat ini harus ia jalani.

Jika semua penderitaan yang terus mendera hidupnya ini dikarenakan darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan mendiang sang kakak, maka Sadi sudah berusaha menerimanya dengan lapang dada.

Akan tetapi, meski berulang kali mengatakan ikhlas dan rela menjalani semuanya, Sadi tetap saja bisa merasakan jiwanya ingin berteriak marah, berontak sekuat tenaga agar ia bisa terbebas dari semua ini dan menghirup udara bebas sepuasnya, serta bisa tertawa juga berbicara tanpa ada lagi yang mengaturnya.

Sambil merenung, tangan Sadi kembali bergerak perlahan. Mampir di pipinya yang masih terasa berdenyut, untuk kemudian mengelusnya. Dan kembali kata-kata menyakitkan yang diucapkan pria terngiang di benaknya. Semua itu benar-benar meluluh lantaknya perasaannya yang sudah lama hancur berantakan.

"Dan wajah cantik ini, sebaiknya dirusak saja agar tidak akan ada satupun lelaki yang sudi menatapnya."

Entah apa yang diinginkan oleh pria itu? Kadang bersikap baik dan tampak menyesal, namun kemudian kebaikan yang ditunjukkan hilang tak berbekas saat pria itu mendatangi dirinya untuk meluapkan amarah. Tapi untungnya Sadi tetap berpegang teguh dengan pendiriannya, bahwa ia tidak boleh luluh dan berpikir masih ada kebaikan yang tersisa untuknya, karena pada kenyataannya kebaikan juga penyesalan ditunjukkan pria itu hanyalah bersifat sementara. Tujuannya hanya untuk membuat Sadi lengah, lalu kemudian menjatuhkannya hingga ke lubang paling dasar.

Sekali lagi Sadi menarik napas perlahan. Kembali memasang wajah datar dan menunjukkan sikap jika ia baik-baik saja, lalu kemudian melangkah keluar dari kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, bukan waktunya meratapi nasib dan terus berkeluh kesah. Nanti, saat janji hidupnya dengan yang di atas berakhir, maka Sadi bisa tidur lelap untuk selamanya.

Harapan Di Ujung Senja [TTS #2 | TAMAT]Where stories live. Discover now