Chapter 39 💕 Aku akan tunggu, Bang

16.9K 2K 296
                                    

Malam itu tuntas sudah Syifa melepaskan segala keluh kesahnya kepada Zikri.

"Aku ingin balik ke Pondok saja, kalo gini," ucap Syifa putus asa. Sedang tangannya asik memainkan kabel handset yang menjuntai.

"Jangan Dek, abang sudah jauh, Ayah kita juga sering pergi. Kalau semua jauh, kasian Ummi dan Zima, kamu jaga Ummi saja di rumah, ya."

"Kamu nggak usah takut, Dek. Kita punya Allah, minta pertolongan kepada Allah dengan sungguh-sungguh.

"Saran abang, sebaiknya kamu temui dia. Mungkin saja ia salah mengerti sama sikap kamu, Dek. Kamu klarifikasi, kalo perlu. Tunjukkan kalo kamu memang muslimah yang baik, agen islam yang baik."

"Hmm ... baiklah, Kak." Syifa lega, terlebih abangnya tidak memarahinya sama sekali, tentang gagalnya ia menjaga hati, membiarkan perasaannya pada Zen.

Ya, Zikri memang no comment tentang perasaan Syifa. Bagaimana bisa ia berkomentar? jika sebetulnya dia sendiri pun juga sudah gagal menjaga hati. Keberadaan Khaira di rumahnya kemarin, yang hampir tiga minggu itu, cukup membuat hatinya jungkir balik.

Sulit baginya, terlebih tinggal satu atap dengan gadis yang sudah ditaksirnya sejak pertama kali bertemu. Masih lekat diingatannya, kali pertama, saat-saat canggung ketika ia membukakan pintu untuk Khaira saat ia baru saja sampai di Jakarta. Jika mengingatnya lagi, Zikri merasa konyol karena telah mengira Khaira sebagai teman dan tamunya Syifa. Padahal ia sudah lama tahu, bahwa anak Pak Ibrahim itu telah lama ikut keluarganya, dirinya saja yang baru ketemu karena ia memang banyak menghabiskan waktunya di Malaysia, tinggal bersama keluarga Om-nya yang memang tidak dikaruniai seorang anak pun.

Zikri tidak bisa memungkiri hatinya. Terlebih dengan frekuensi mereka yang setiap saat bertemu pagi, siang, malam. Hingga ia merasa seolah telah mengenali gadis lugu itu sepenuhnya.

Zikri telah menyaksikan bagaimana Khaira cemas ketika Umminya masuk rumah sakit, betapa cekatannya gadis itu dalam membantu keluarganya, ia juga menyaksikan bagaimana gadis itu menangis sendirian di beranda belakang karena betul-betul merindukan keluarganya, dan ia juga menyaksikan binar bahagia di mata itu, ketika Khaira akhirnya bisa bertemu lagi dengan keluarganya kemarin, setelah nyaris tiga tahun ia tidak pulang. Zikri sendiri pun sempat menitikkan air mata melihatnya. Ya, Zikri hanya mampu menyaksikan, melihat dari jauh, tanpa pernah menghibur atau pun berkomentar, menyimpan rapat perasaan itu dalam diam.

Seperti tidak ingin membuang tempo. Kemarin, saat keluarga Khaira berkunjung ke rumahnya. Zikri mengajak Abangnya Khaira, Farid untuk berkeliling-keliling menyaksikan indah dan gemerlapnya kota Jakarta dari ketinggian, pada malam hari.

Suasana dan tempat itu sengaja ia pilih, yang ia rasa cocok untuk menyampaikan maksud hatinya. Zikri benar-benar tak ingin kehilangan start, ia tak ingin didahului orang. Lebih cepat lebih baik, pikirnya.

Malam itu kota Jakarta terlihat sangat indah, cuaca benar-benar bersahabat, bintang gemintang bertaburan di langit, sedangkan di bawah sana kerlap kerlip lampu kota tempak amat menawan dari atas situ. Zikri menyodorkan sebuah minuman kaleng dingin kepada Farid, lalu menegak kaleng di tangan satunya, melawan rasa gugup.

"Bang, aku ingin bicara sesuatu," Zikri membuka pembicaraan.

Farid menoleh sekilas, lalu ikut membasahi kerongkongannya dengan minuman itu.

"Sampaikanlah, santai saja."

"Sebelumnya maaf, kalau ini terkesan lancang," Zikri menghela napas, berusaha membuang rasa gugup itu jauh-jauh.

"Bang. Aku ingin ... nanti, Khaira menjadi istriku. Bagaimana ... menurut abang?" Ucap Zikri bergetar, panas dingin tubuhnya ketika ia menyampaikan kata-kata itu. Sebagaimana yang kalian tahu, Bang Farid adalah satu-satunya wali sah Khaira-mengingat Ayahnya, Pak Ibrahim sudah lama menghilang, tak tahu rimbanya.

"Kalo abang sih nggak ada masalah, Zik, keputusan tergantung Khaira saja, sebab dialah yang akan menjalani. Kamu juga tahu. Dia juga masih sekolah, sekarang."

"Aku tahu, Bang ... Maksudku nanti, nanti, saat aku siap. Saat kami sama-sama siap."

"Tapi abang khawatir, Zik." Farid melirik sekilas lalu menghela napas panjang, sedang matanya tertuju pada mobil yang berlalu lalang di bawah sana.

"Kemarin ia bilang ia ingin menuntaskan hafalan qur'annya dulu. Ditambah lagi, Kak Nisa juga belum nikah, pasti dia tidak ingin mendahului kakak, kecuali ..." Farid, ada penekanan di kata terakhirnya.

"Kecuali ... apa, Bang?"

"Kecuali kalo kamu siap menunggu."

"Aku akan tunggu, Bang, kapan pun, hingga Khaira benar-benar siap," sahut Zikri yakin.

Farid tersenyum. "Baiklah, Aku pegang janjimu." Saat itu hampir saja Zikri berteriak melompat-lompat mengacungkan tinju, tapi demi menjaga image di depan orang, yang baginya kini adalah calon kakak ipar itu. Gemuruh itu ia tahan.

***

Sebagaimana pesantren-pesantren pada umumnya. Rutinitas di Pondok Az-Zubair dimulai pagi-pagi sekali. Pukul setengah empat subuh, sirine asrama untuk membangunkan para santri sudah berbunyi, para Musyrif/Musyrifah, pembimbing asrama, termasuk Khaira langsung melakukan inspeksi ke kamar-kamar, memeriksa, jika ada santri yang belum bangun.

Aktivitas subuh itu dimulai dari salat tahajud, mandi, kemudian bersiap-siap ke masjid untuk menunaikan salat subuh berjama'ah.

Aktivitas di masjid ini bisa mencapai pukul enam pagi, sebab selepas subuh, ada tartil qur'an; yaitu aktivitas rutin yang dilakukan bahkan pada hari libur atau lebaran sekali pun. Adapun tartil yang dimaksud di pondok ini adalah, di mana seorang ustaz menjabarkan terjemahan kata per kata suatu ayat, sekaligus tafsir dari ayat Al Qur'an tersebut.

Adapun ayat yang dibahas dalam tartil adalah runut, dimulai dari Al Fatihah hingga An-Nash. Dibahas sedikit demi sedikit, satu atau dua ayat per harinya, berangsur-angsur hingga habis, hingga khatam.

Aktivitas tartil ini memang diciptakan, dengan harapan agar para jama'ah, masyarakat sekitar, terutama santri di pondok Az-Zubair, tidak hanya mampu menghafal dan menerjemahkan al qur'an saja, namun juga mampu memahami al qur'an secara menyeluruh- tidak sepotong-sepotong, hingga mampu menyampaikannya kembali, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila ustaz telah selesai menjabarkan tafsir ayat tersebut, beliau akan segera mengambil daftar absensi yang berisi nama-nama para santri, lalu beliau akan memanggil satu hingga tiga orang santri secara bergiliran, untuk membaca ayat Al Qur'an yang baru saja ia bahas sekaligus maknanya (tentunya tanpa melihat qur'an terjemahan) Mereka yang terpanggil akan membaca lantang ayat beserta mencoba menerjemahkan al quran kata demi kata-disaksikan oleh semua jamaah salat subuh, setiap pagi.

Setelah selesai, berikutnya, barulah hal tersebut dilanjutkan oleh pembina. Masing-masing pembina duduk dengan dikelilingi para santri, membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Para pembina akan menyimak bacaan Al quran serta kemampuan masing-masing santri dalam mengartikan al quran-kata demi kata yang sudah dijabarkan oleh ustaz sebelumnya. Sepulang dari masjid, barulah berikutnya mereka kembali ke asrama, melakukan piket harian hingga aktivitas pribadi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah.

Ada yang janggal bagi Khaira, hari itu. Ia tidak mendapati Runa sejak pagi, sejak pulang dari masjid. Setelah menyelesaikan sarapannya, Khaira langsung mencari Runa ke dapur, kamar mandi, ke halaman, kemana-mana. Hingga Khaira menyadari, bahwa Runa ternyata masih bergulung di atas tempat tidurnya. Selimut itu membungkus seluruh tubuh Runa hingga menyisakan kepalanya saja.

Khaira yang sudah akan meninggalkan kamar akhirnya menghampiri gadis itu. Gadis itu tampak berkeringat dingin.

"Runa? Kamu kenapa? Apa yang sakit?" berundung Khaira, tapi yang bersangkutan tidak merespon.

Deg!

Khaira berdebar.

"Ya, Allah!" sebut Khaira spontan, terperangah mendapati rembesan darah segar dari sisi kiri selimut.

***

~••~

Uups!!

Bintang 🌟 sama comment-nya please! Hehe..

Terimakasih, karena masih setia menantikan kisah ini. ^__^

Wo ai Ni, Aku Mencintai-MuWhere stories live. Discover now