Chapter 22 💕 Jutek bin ajaib

18.3K 2.6K 182
                                    

"Fa, sekarang kamu ikut aku!" seru Dian yang baru saja datang dari luar kelas. Napasnya terdengar memburu.

"Ke mana?" Syifa seperti biasa; yang tengah menekuri buku, menoleh. Ia tampak enggan beranjak dari kursi.

"Aku sudah tahu cara buat wujudkan mimpi kita. Ayolah!"

Dian menyambar lengan Syifa untuk mengikutinya. Syifa yang ditarik-tarik terpaksa bangkit juga.

"Iya-iya, pelan-pelan aja dong," protes Syifa. Kini ia menyamai langkah Dian, mereka ngobrol sambil jalan.

"Jadi apa rencana kamu?"

"Ehm, jadi nih ya. Tadi gue sharing gitu di Rohis, trus ada yang saran, kenapa kita nggak gabung Connect Community, aja. Aduh, kok bisa, ya, gue nggak kepikiran!"

"Emang itu komunitas apaan?"

"Itu dia. Connect itu semacam english club, dan di sana orang-orang nggak cuma belajar bahasa Inggris, di sana juga ada kelas khusus buat scholarship seekers." Dian menjentikkan jari dengan antusias.

"Jadi di sana kita juga belajar nulis?"

"Yup. Bahasa Inggris iya, karya tulis iya, organisasi juga iya, 3 in 1 udah satu paket, pas banget, kan?" seru Dian, heboh.

"Oke, oke. Trus sekarang kita mau kemana?"

"Ke kelas XII, nemuin Zen. Setahu gue, di sekolah ini, cuma dia yang bisa kita minta bantu. Dia udah lama di Connect."

"Masa kita nyamperin dia?" nada Syifa seperti tak yakin.

"Lha, terus__? Kan kitanya yang butuh, Syifaaa ..." ujar Dian gemas.

"Iya sih" Sahut Syifa. Ia hanya bisa mengutuki diri dalam hati.

"Pokoknya, lo harus membiasakan diri. Ini SMA, Syifa, bukan pondok!"

"Trus, kita ke sana dengan tangan kosong?" Syifa mendadak menahan langkahnya. Mereka bahkan telah sampai di pintu kelas XII IPA 1.

"Aduh, Syifa. Jangan cari-cari alasan deh!"

"Sebentar, aku ke kelas dulu, ada yang mau aku kasih," Syifa langsung menghilang dalam sekejap.

Dian hanya memandangi sobat barunya dari jauh. Emang lo mau kasih apaan sih fa?

"Nyari siapa, Dek?" tanya seseorang dari depan pintu, yang cukup membuyarkan suara-suara di kepala Dian.

"Eh-iya nih, kak. Boleh minta tolong panggikan Kak Zen?"

°°°

"Zen ada yang nyariin lo, tuh."

"Siapa?"

"Kayaknya, sih, anak kelas sebelas."

Zen yang merasa sedang dicari, bangkit dari kursi.

"Siang, kak," sapa Dian sopan.

"Kamu yang nyari saya? Ada apa?"

Hampir saja Dian hendak menyampaikan maksudnya. Namun, cepat pula niat itu diurungkan. Ia teringat Syifa. Di sisi lain, Dian juga agak gugup. Baru kali ini ia benar-benar bersitatap muka langsung dengan Zen yang di elu-elukan cewek-cewek alay di kelasnya. But, harus diakui. Pembawaan seniornya ini, cukup bikin ia melting. Kini, ia bisa sedikit memahami perasaan cewek-cewek heboh, di kelasnya itu.

"Hmm, kita tunggu teman saya dulu boleh ya, Kak. Sebentar aja kok." Ayo, dong fa, buruan, seru Dian dalam hati.

"Nah, itu dia, Kak," Dian menunjuk gadis berkerudung yang sedang menuju ke arah mereka.

"Dia ... Syifa?" Zen mencoba mengkonfirmasi. Baru saja ia hendak menemui gadis itu, eh tau-tau malah datang sendiri.

Dian membenarkan. "Nah, ayo Syi, langsung sampaikan saja."

Mendengar itu. Syifa terbelalak, melotot kepada Dian. Dian yang diplototi, malah memberi isyarat agar Syifa segera bicara. Yang benar saja! Dian mengerjainya.

"Ada apa?" Zen sudah memasang mimik serius.

" Oh, sebelumnya saya mohon maaf, Kak," ucap Syifa basa-basi, ia memutar otak, berusaha mencari kata yang tepat.

"Saya kemarin betul-betul nggak tahu. Kalo, kakak itu senior saya. Maaf, kalo kemarin-kemarin itu, kurang sopan. Sekalian juga saya mau kasih ini." Syifa menyodorkan sebuah buku yang telah ada di tangannya sedari tadi kepada Zen.

"Mungkin, itu bisa membantu, menjawab pertanyaan Kakak kemarin, dengan lebih baik."

Zen yang menerima, membolak-balik buku itu dengan seksama.

"Saya tidak tahu kapan saya bisa menyelesaikannya, saya agak sibuk," tolak Zen halus, ia menyodorkan buku itu kembali. Dari covernya, jelas sekali buku itu berbicara dalam perspektif islam.

Dan, Zen tidak mau berpusing- memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, sekarang. Akan menimbulkan masalah besar, jikalau ia menjadi bersebrangan dengan Pa, dan itu hanya akan menambah pelik hidupnya.

"Tidak harus dikembalikan, Kak. Disimpan dulu, saja. Bacanya bisa nanti-nanti." jelas Syifa. Dari sikapnya jelas ia tidak mau menerima buku itu kembali.

"Hmm ... Oke. Terimakasih, ya, bukunya. "Ehm, jadi ini saja?" Zen mencoba memastikan.

"Oh, Kami rencana mau bergabung dengan Connect, Kak. Jadi kami ke sini sekaligus mau minta bantuannya kakak." tuntas Dian.

"Itu bisa diatur, kalian langsung datang saja, tahu alamatnya, kan?"

"Ya. Baik kak, terimakasih," ujar Dian dan Syifa serempak.

"Um, Syifa ... apa saya masih tidak boleh bicara dengan adikmu?"

"Adik ... saya?" tanya Syifa tak yakin. Ia tampak berusaha mengumpulkan memorinya.

"Ya, kamu gadis yang di rumah sakit, bukan? Saya benar ada perlu dengannya," ucap Zen sungguh-sungguh.

Syifa seperti menemukan ingatannya.

"Maaf, Kak, sebetulnya itu ..." Ada jeda sejenak, "dia tidak benar-benar adikku. Waktu itu, aku kira__"

"Jadi, Kau, berbohong?"

"Bukan! bukan begitu, kami ... sangat dekat dan, bagiku ... ia sudah seperti adik sendiri. Sungguh! tidak ada maksud membohongi."

"Well. Jadi bagaimana saya bisa menemuinya?"

"Nggak boleh!" sahut Syifa spontan dengan nada meninggi. Syifa yang tak kalah kaget mendengar suaranya sendiri, berusaha meralat. "Ma-af, ma-maksudku ... memang, tidak bisa."

"Kenapa tidak?" Zen melipat tangannya di dada. Ia sungguh tak habis pikir dengan apa yang ada dipikiran gadis ini.

"Karena, ia sudah tidak di sini. Dia sudah ... pergi, " Syifa tidak melanjutkan ucapannya. "Permisi," tutupnya dingin, seraya menarik lengan Dian yang hanya bengong menyaksikan, sedari tadi.

"Mohon maaf, Kak!" seru Dian tergesa, sesaat setelah lengannya ditarik. Syifa benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Mengapa urusannya mendadak jadi runyam begini!

Sesaat, Zen hanya terpana. Ia seakan tak percaya dengan apa yang baru disaksikannya barusan. Sikap cewek freak bin ajaib baginya itu, membuatnya gregetan.

°°°

"Kalo aja kau liat tadi. Cewek itu, Parah! Ajaib banget kelakuannya," seru Zen pada Ryan.

"Trus, apa rencanamu? Mau berhenti saja?"

"Ya, enggak, lah. Kita ikuti permainan cewek itu."

"Si cewek ajaib? Gimana kalo ucapan dia itu emang bener?"

"Itu yang harus kita cari tahu."

"Caranya? Apa kau akan dekati dia?"

"Mungkin. Kita lihat nanti."

***

Bintangnya, dong! Terimakasih. :)

Wo ai Ni, Aku Mencintai-MuWhere stories live. Discover now