Chapter 30 💕 tentang baper

18K 2.6K 256
                                    

Sudah hitungan bulan Syifa di SMA, dan itu bukan berarti ia tidak menghadapi kendala atau masalah, sama sekali. Ia mengalami hal-hal yang tidak pernah dia alami selama di pondok. Dari hal-hal remeh sampe hal-hal yang mengesalkan.
Seperti Sisil misalnya, yang kadang suka mengintip jilbab Syifa saat upacara.

"Rambut, lo, sepanjang apa, sih, Syi?" Syifa yang kaget pun akhirnya harus belajar untuk maklum atas rasa penasaran teman-temannya.

"Enak ya, lo, lengan lo nggak belang kayak kita, jadi lo pake jilbab sejak bayi?"

"Lo ngapain, abis wudu pake kaus kaki lagi? Kan, di musala nanti harus dilepas lagi?"

Menjadi satu-satunya yang berbeda di sekolah mau tak mau membuat Syifa jadi menonjol dan jadi pusat perhatian. Apalagi kebiasaan, sikapnya yang jauh berbeda dari orang kebanyakan.

Niko, teman sekelasnya sering menggodanya, sering duduk di dekatnya lalu menatapnya lekat-lekat dengan dagu ditumpukan ke atas meja. Kalian bayangin aja betapa risihnya Syifa ditatap sedemikian rupa dengan jarak yang tak sampai setengah meter itu!

"Kalo gue, sih, nanti pengen punya istri yang solehah kayak Syifa gini, ya nggak, Fa?" ucap seseorang mengerling kepadanya, yang kadang membuat Syifa sangat canggung.

Belum lagi, Anes. Walaupun seorang muslim, ia suka sekali mendebat Syifa. Ia selalu seperti menguji kesabaran. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan biasa hingga pertanyaan absurd.

"Kenapa Allah tidak menolong orang-orang di Palestina, di Irak?
Kenapa Nabi Ibrahm As mau-mau saja menyemblih anaknya?

"Kenapa dulu Nabi Adam Alaih salam makan buah kuldi?"

Menerima pertanyaan tak terduga seperti itu. Membuat Syifa merasa, bahwa ilmunya masih lah sangat jauh. Banyak hal yang tidak ia tahu, belum ia dalami.

Kadang, sebagian pertanyaan ia mampu jawab dengan baik, kadang tidak. Kadang ia menang berargumen, kadang tidak. Syifa yakin ketidakmampuannya dalam mejawab, bukannya karena tidak ada jawaban dari itu semua, tapi, keilmuannya lah yang masih kurang.

Berikutnya, semenjak Anes tahu, Syifa tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis. Ada-ada saja perangai yang dibuatnya. Anes tiba-tiba suka lewat di dekatnya lalu menepuk pundaknya.

Ketika ia protes, "Anes, jangan!"
Si Anes malah nyengir kuda terus dengan santainya bilang.

"Eh, sorry, gue gak sengaja, Fa!" dan hal-hal sejenis lainnya.

Belum lagi, seseorang yang misterius berinisial "R" yang sering disebut-sebut Sisil, yang memintanya untuk menjadi pacar? Ah, yang benar saja! Tapi orang itu seakan tak kehabisan akal. Ia kerap menyelipkan surat di lacinya hingga Syifa tak punya pilihan lain selain membuang surat-surat itu. Orang itu juga mengiriminya SMS yang tak pernah ia balas sekali pun.

Syifa benar-benar tak mengerti. Ia yang merasa dirinya tidak secantik Khaira, yang hampir semua santri putra di pondok menyukainya. Ia cenderung biasa. Ia tidak seputih Khaira, dan lagi pula, ia tidak begitu ingin bergaul dengan anak laki-laki.

Syifa kerap merasa serba salah. Ia bingung harus bersikap. Di satu sisi, ia harus jadi contoh bahwa, islam itu baik, tapi di satu sisi, ia kadang harus mengurut dada, belajar memaklumi teman-temannya yang belum mengerti.

Bahkan Dian, yang ia kira sudah pasti paham, rupanya masih banyak hal yang harus ia luruskan. Sehingga, Syifa kadang harus marah dulu untuk menegurnya.

"Jadi kemarin Kak Zen ngajak, lo, ketemuan dengan adiknya, gitu? Wah ... nggak salah lagi tuh. Ini sih, fix, Kak Zen suka sama, lo, Fa!"

Syifa yang digoda bahkan tidak tersenyum sama sekali.

"Aku bilang, enggak, Dian. Nggak ada yang kayak begitu ... Kak Zen murni cuma minta tolong ke aku. Itu saja. Tolong jangan diperbesar-besarkan!"

"Ah, kalo gue mah nggak percaya. Lo juga jangan terlalu polos! Bisa aja, kan, itu cuma akal-akalannya Kak Zen doang, biar bisa deket sama lo. Percaya sama gue!"

Syifa yang merasa sudah habis kesabarannya, dengan Dian yang selalu menggodanya soal Zen, akhirnya angkat bicara.

"Kalau misalnya aku jadi beneran suka sama Kak Zen lantaran kamu ciee ciee-in aku terus, gimana? kamu mau tanggung jawab?" tanya Syifa tegang dengan nada tak bersahabat.

"Ihh ... elo, kok, ngomongnya gitu, Fa. Lo kan tau, gue cuma bercanda!"

"Enggak lucu sama sekali, Dian. Persoalan hati itu, nggak boleh jadi bahan mainan. Orang yang awalnya nggak baper, lama-lama bisa jadi baper beneran karena kamu olokin terus.

"Ini berlaku untuk semua orang, nggak ke aku aja. Kamu bayangin! kalo seandainya kamu ngolokin seseorang dan, dia jadi suka beneran sama orang itu. Eh, tau-tau, rupanya si cowok nggak suka, cinta bertepuk sebelah tangan, atau lebih parahnya, si cewek diterima tapi dipermainkan cowok itu, si cewek jadi ngemis-ngemis cinta, terus cintanya dipatahkan seenaknya. Aku tanya! Siapa yang harus disalahkan di sini? Padahal si cewek tadinya biasa aja, nggak ada rasa apa-apa pada awalnya."

Dian yang mendengar pernyataan Syifa pun akhirnya tertunduk, "Maafin gue, yah, Syi, gue bener-bener nggak tau akibatnya bisa sejauh itu. Gue nggak ada maksud buat lo, kayak gitu, kok. Maafin gue."

"Iya, Dian, aku harap kamu ngerti dan nggak berbuat hal serupa sama orang lain juga. Di mana-mana, pada akhirnya, yang paling sengsara dan sering dirugikan itu cewek."

"Iya, Syifa, mudah-mudahan lo nggak sempet baper, ya, gara-gara gue. Gue tahu, kok, sebenarnya lo pengennya dapet jodoh yang se-kufu, yang alim, yang agamanya baek, kayak ustadz muda di pesantren lo, itu, kan? Siapa namanya?"

Syifa tak menjawab. Syifa sudah putuskan. Agaknya ia harus lebih waspada dan hati-hati dengan Kak Zen, yang menurutnya adalah laki-laki yang suka tebar pesona itu.

•-•

Touch the ⭐ star please! Thankyou.

IG. Suhayla_Zhafira

Wo ai Ni, Aku Mencintai-MuDove le storie prendono vita. Scoprilo ora