Chapter 8 💕 Bayang-bayang masa lalu

26.6K 3.3K 435
                                    

Semua yang kita miliki hanyalah titipan. Jadi janganlah bersedih, jika sewaktu-waktu Tuhan hendak mengambil miliknya kembali," begitu ucap ibunya, masih terngiang-ngiang di kepala Khaira.

Seakan baru kemarin, ibunya mengucapkan kalimat itu-untuk membujuknya ketika kehilangan Brie, kucing kesayangannya.

Dan kini ia mengerti, ketika Tuhan mengambil ibu darinya. Sejenak hanya ada kebisuan. Khaira menatap adiknya Zauqi, yang baru saja tidur setelah lelah menangis.

Khaira masih ingat betul bagaimana rasanya dipeluk, disayang dan dimanja ibu. Masa-masa kebersamaan yang takkan mungkin pernah ia lupa.

Namun, tidak dengan adiknya, adiknya tak memiliki kenangan apapun. Jangan kan mengingat, bertemu muka saja belum pernah.

Meski kini ia dan kakaknya Nisa berusaha untuk menggantikan kekosongan itu, tapi kenyataannya mereka tidak mampu.

Tanpa terasa matanya menghangat. Butiran bening itu sudah mengambang, mengalir begitu saja.

Sekali lagi ia belai lembut kepala adiknya, ia kecup keningnya, lalu menarik selimut ke tubuhnya.

Dengan hati-hati Khaira beranjak, agar tidak menimbulkan suara gaduh sedikitpun. Pelan-pelan ia tarik kenop dan menutup rapat pintu kamar.

Tubuhnya terasa penat, ia berjalan gontai menuju ruang tamu, merebahkan diri ke sofa.

Matanya terasa berat, namun kakak dan abangnya belum juga pulang. Tak biasanya mereka begini, pikirnya.

Jam dinding berdentang menunjukkan pukul 23.00 WIB.

"Audzubillahi minasyaithanirrajim," sebutnya seraya membekap mulut.

Khaira berusaha tetap terjaga, mengalihkan perhatian dengan mengambil majalah di meja, membolak-balik, mencari bagian yang menarik. Ia menekuri kata-demi kata, kalimat demi kalimat hingga ia sadari matanya sudah tak mau lagi berkompromi, sayup-sayup mengayun, kelopak mata itu terbuka- tertutup, hingga benar terpejam dan terlelap.

Hingga ketukan keras dan panjang mengagetkannya.

Tokk!

Tokk!

Tookk! Toookk!!

Khaira yang tersentak bangun, segera menyambar pintu, memutar anak kunci tiga kali.

"Ya, Kak, sebentar ... sabar," teriaknya.

Kenapa kakak hanya mengetuk, tidak memanggil namanya seperti biasa? Ahh... mungkin karena kakak terlalu capek, sangkalnya kemudian.

Pintu pun terbuka.

"Astagfirullah!" Khaira terperanjat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ma-af, ada apa, yah, Kak Giwi?"
Khaira berusaha menyembunyikan kekagetannya. Bau alkohol terasa pekat menyambar penciumannya.

Lelaki di hadapannya itu menyeringai.
"Boleh masuk?" berundungnya. Lalu membawa tubuh setengah terhuyungnya, lebih dekat.

"Maaf, kak Giwi, tapi sekarang Bang Farid tidak ada di rumah," terang Khaira cepat, ia telah mendorong pintu empat puluh lima derajat.

Tapi tangan kekar itu menghalangi, "Saya ada perlu dengan kau."

"Aku tak bisa!" sengit Khaira. Mendorong paksa agar pintu itu menutup. Khaira telah mencium gelagat itu. Lelaki itu, jelas sekali dalam kondisi mabuk, matanya merah, seringainya seperti setan. Khaira merinding.

Tapi apa daya, tubuh mungilnya tidak cukup kuat untuk menahan pintu. Ia pun terpental. Laki-laki sempoyongan itu masuk mendekat, dengan seringai kemenangan.

Wo ai Ni, Aku Mencintai-MuWhere stories live. Discover now