Wolu Las

298 39 1
                                    


Azan subuh pagi itu memanggil, panggilannya bukan berasal dari masjid melainkan dari Ki Jaka. Aku terbangun dan melihat dirinya melakukan azan di bawah atapnya yang hilang. Disitu hatiku semakin tertekan dan dilahap oleh perasaan yang membuatku sadar akan kepentingan berserah diri kepada-Nya.

"Laa Ilaaha Illallaah." Azan itu selesai dengan keheningan yang kembali mendatangi rumah itu.

Aku bergegas bangun dan pergi menuju kamar mandi. Ki Jaka sepertinya sadar bahwa diriku sudah bangun dan melihatku masuk ke kamar mandi, "Gunakan air sebaiknya."

"Baik," Balasku.

Aku tahu mengapa dia berkata seperti itu, karena air yang berada di dalam kamar mandi tinggal setengah dari satu ukuran ember dengan volume lima liter. Aku menghela nafas dan memutar balik. Dia yang persis berada dibalik pintu langsung melihatku, "Kenapa?"

"Airnya tinggal sedikit, lebih baik aku tayyamum," Balasku sambil menggaruk – garuk kepala.

"Masih ada air bukan?" Tanya Ki Jaka.

"Masih, tapi tinggal sedikit, Ki." Diriku bertanya – tanya kenapa Ki Jaka menahan diriku.

"Gunakan," Balasnya.

"Tingga—"

Ki Jaka memotong, "Air itu masih ada, jadi tidak ada alasan untuk melakukan tayyamum."

Aku melihatnya dengan sangat bingung, "Tapi, kalau Ki Jaka tidak bisa wudhu bagaimana?"

"Tadi sudah dibilang, gunakanlah dengan baik," Dia bersenyum dan mendorong diriku masuk kembali.

Aku berbalik badan dan melihat air yang diam dengan tenang. Dikepalaku sekarang hanya ada pikiran bahwa Ki Jaka adalah orang yang dermawan, bisa dilihat dari bagaimana dia menyuruhku untuk tetap menggunakan air yang tinggal sedikit.

"Sudah?" Tanya Ki Jaka ketika diriku kembali membuka pintu.

"Bukan, hanya ingin berterima kasih." Aku memegang tangan Ki Jaka dan aku cium tangannya.

Dia tidak terkejut, namun senyuman di bibirnya semakin lebar. Aku balas senyuman Ki Jaka dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. Selama membasuh tangan, wajah, dan kaki aku terus mengucapkan kalimat permohonan dan permintan maaf kepada-Nya. Terutama terima kasih telah mempertemukan diriku dengan Ki Jaka. Aku juga sangat menyesal, karena menganggap Ki Jaka sebagai dukun yang masih beralaskan Kejawen. Mungkin dia memiliki kemampuan seperti itu, tapi dia lebih suka menafsirkan secara halus.

"Silakan, Ki."

Selama Ki Jaka melakukan wudhu, aku berdiri di salah satu sudut rumah yang atapnya hilang. Kemudian aku melihat ke arah langit. Bintang – bintang di atas berkelap – kelip lebih hebat dari biasanya. Mataku hanya bisa melihat dan mendadak pikiranku menjadi kosong. Aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku sekarang tersesat. Tidak tahu harus kemana dan melakukan apa. Tapi, hati terus menghaluskan seluruh jiwa. Disitu aku menjadi tenang, walaupun pikiranku sudah rusak akibat hebatnya berpikir.

"Kamu jadi imam," Seru Ki Jaka yang tiba – tiba sudah berada di samping diriku.

"Aku tidak yakin," Balasku dengan murung.

"Tunjukan kepada-Nya kalau kau berniat menjadi pahlawan dengan kamu memimpin ibadah," Ucap Ki Jaka dengan kalimat yang sangat dalam.

"Kalau begitu, ajari aku untuk menjadi pemimpin ibadah dengan Ki Jaka menjadi imam." Aku harus menolaknya.

SKENARIO JAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang