Wolu

383 44 8
                                    

"Ingat, catatlah semua hal dalam bentuk voice note, apabila mendapatkan bukti—gambar—fisik, segera kirim ke ETE." Eyot mengirimkan suatu pesan saat diriku sudah melaju menuju kota Bandung.

Aku menekan tombol di handsfree, "Bapak sudah mengucapkannya tiga kali ya?" Tegurku dengan menunjukan rasa muak.

"Ini demi kebaikan, apalagi lu sendirian," balas Eyot.

Aku tertawa kecil dan membalas, "Santuy, tinggal mencari gebetan baru."

Eyot seperti berusaha menjawab, namun sinyal tidak berhasil masuk menembus keretaku yang berada di dalam gunung.

"...intinya utamakan misi ini, Rio," Suara Eyot menjadi jelas ketika kereta berhasil menembus gunung.

"Tentu," Balasku sambil memutuskan hubungan dengan Eyot dan Nisa yang berada di main base.

Bandung, tidak tahu mengapa sedikit kesal mendengarnya. Awalnya sangat gembira menaruh sedikit kisah di Plateau ini, namun di ujung kisah indah terdapat suatu kepahitan. Kalau saja tidak ada misi ini, mungkin aku akan sangat enggan untuk kembali ke kota yang dianggap Paris. Huft, tetap saja aku kesal melihat serba – serbi tentang Bandung.

"Last stop. Tegalluar Station, Please prepare your belonging and thank you for using Jakarta – Bandung High Speed Rail Services." Pengumuman kereta tiba di stasiun terakhir terkumandang di dalam gerbong.

"Akhirnya." Aku bangkit dan segera mengambil barang di kompartemen atas.

Kereta berhenti dengan sempurna dan pintu langsung terbuka. Mungkin karena bukan musim lIburan, penumpang tidak terlalu memadati kereta dan stasiun. Stasiun hanya dipenuhi beberapa orang dan sama sekali tidak terlihat antrian di tempat tap in dan tap out tiket.

"Kata Eyot akan ada orang yang akan menjemputku di sekitar sini, tapi orangnya aja gue nggak tahu," Ungkapku dalam hati sambil celingak – celinguk mencari orang yang unik.

"Saya percaya anda adalah Maulik Oktarian Ethan Rolan?" Seseorang dengan bomber hitam menepuk punggungku secara tiba – tiba.

Aku reflek meloncat dan memutar badan, "Woah!"

Dia melototi kelakuan diriku, "Maaf – maaf, apakah saya mengageti dirimu?"

"Lalu kau kira tadi saya barongsai?" Balasku dengan sedikit nada yang tinggi.

"Apakah itu jawaban atau sebuah pernyataan?" Dia balik pertanyaan yang membuat diriku semakin kesal.

Aku menguatkan tenaga disekujur tubuh; tangan mengepal sangat kuat. Namun, aku menarik nafas, "Lupakan, panggil saja, Rolan."

"Okay, Rolan silakan mengikutiku ke dalam mobil." Kemudian aku kembali menarik koper dan pergi mengikutinya menuju mobil.

Aku memasukan seluruh barang di bagasi dan langsung duduk di kursi depan. Dia sepertinya adalah asisten dari Maheswara, sama sekali tidak mengenali diriku. Berarti, dia bukan mata – mata lain yang menjadi anak bawahan Maheswara.

"Jadi, kenapa ingin berkerja dengan Maheswara?" Tanya asisten itu dengan mengemudikan di sekitar Jalan Soekarno Hatta.

"Sepertinya dengan menjadi asisten suatu orang yang sangat berpengalaman dalam ilmu yang sudah aku dapat, itu bisa membuat diriku terpacu untuk menjadi yang terbaik." Balasku dengan kalimat yang sudah aku pikirkan selama perjalanan ke Bandung.

SKENARIO JAWAWhere stories live. Discover now