Aku Belum Bisa Menjawab nya

3.2K 211 2
                                    

"Bagaimana? Apa mereka menerima mu dengan sangat baik?" Tifa baru saja duduk dan menanyakan nya setelah mendapat ijin untuk beristirahat sebentar. Kafe juga sudah mau tutup.

Aku dan Kian mendatangi tempat kerjanya, karena bosan di rumah. Perpustakaan juga kami tutup. Aku baru sampai tadi pagi dan setelah tidur seharian aku mengajak Kian keluar menghilangkan penat.

"Aku diterima sangat baik"

"Lalu kenapa wajah mu mengenaskan?" mereka bertanya bergantian.

Ku hela nafas kasar berulang kali. "Aku juga tidak tau"

"Kalian disuruh berpisah?"

"Sebaliknya, kami hampir dinikahkan sebelum kembali kesini"

Tifa dan Kian tergelak.

"Jadi, bagaimana keputusan mu setelah ini? Melihat keadaannya baik-baik saja dan keluarga Axell juga mengharapkan mu kembali, kau tak boleh mengecewakan mereka bukan?"

"Aku tak akan mengecewakan mereka, tapi aku juga harus memantapkan hati ku untuk melanjutkan ke babak selanjutnya. Aku belum berani mengambil langkah secepat itu"

"Kau masih meragukannya?"

Aku menggeleng. "Aku meragukan diri ku sendiri"

"Yang penting hati mu sudah terkait dan pasti kau akan menikah dengannya, hanya waktunya saja yang belum kau persiapkan. Jangan terlalu terbawa suasana, semua orang tua menginginkan yang terbaik" pesan Kian.

"Selama Axell tak mendesak mu..." ucap Tifa

"Ku rasa Axell tak mendesaknya terlalu keras" sela Kian

"Baguslah. Jadi kau tak perlu repot-repot memikirkannya"

"Aku tak akan repot-repot memikirkannya melainkan yang ku pikirkan saat ini adalah kapan kau menyelesaikan pekerjaan mu? Aku ingin kita keluar dari sini dengan segera..." mata ku melirik ke arah kasir. "Ku rasa rekan kerja mu tak suka dengan keberadaan kami disini"

Mereka mencuri pandang mengamati orang yang ku maksud. Tatapan dinginnya selalu mengarah ke meja kami, aku tak nyaman.

Tifa menghela nafas panjang. "Dia anak bos ku. Tukang mengadu dan jutek. Harap maklum. Kalian tunggu lah di luar, aku akan segera keluar. Jam kerja ku juga sudah berakhir"

"Bagus. Kami tunggu di depan" kami keluar sesegera mungkin.

Kami berkeliling menikmati beberapa jajanan kaki lima. Sudah dalam waktu lama kami tak melakukannya. Memuaskan hasrat hanya untuk makan dan makan. Kami tak berhenti menelusuri berbagai camilan yang menggiurkan hingga perut kami tak lagi dapat menampung apapun. Kami duduk melepas lelah di salah satu kedai minum di pinggir jalan.

Tifa memesan 3 minuman. Namun, saat akan membayar ia tak menemukan dompetnya. Meraba saku dan memeriksa tasnya, ia tak menemukannya. Tifa panik dan memikir ulang dimana sekiranya ia meninggalkan dompetnya.

"Coba kau ingat lagi dimana terakhir kali kau meninggalkan dompet mu?" desak Kian ikut panik.

Aku membayar terlebih dahulu minumannya dan memberikannya pada mereka. Aku tak heran dengan kejadian ini. Tifa sering meninggalkan dompetnya di suatu tempat dan berakhir kehilangan. Jarang dompet itu kembali jika bukan orang berhati baik yang mau mengembalikannya.

Alhasil ia sama sekali tak mengingatnya hingga sebuah telepon ia terima. Tertera nama Azka disana. Jadi, mereka sudah saling menukar nomor?

"Halo, ada apa?" nada paniknya tak hilang bercampur sikap ketusnya, ia tampak kacau.

Please, Accept My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang