Sebaiknya Kita Cerai

11.2K 555 11
                                    

Silahkan luang kan waktu anda untuk tinggalkan satu kata di kolom komentar. Sebab satu komentar anda sangat berarti untuk saya.

Thanks.

*****

Malam ini hujan lebat turun.

Sesampainya di rumah, aku menemukan pria itu di kamar ku, berdiri memunggungi ku menghadap ke jendela.

"Apa yang kau lihat? Di luar hujan sangat deras, kilatnya juga mengerikan. Menyingkir lah, akan ku tutup tirai nya"

Aku menghampirinya tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu. Dia diam tak bergeming menghalangi langkah ku.

"Ada apa?"

Tatapannya kosong, berbalik menghadap ku. "Maafkan aku..."

Aku sudah terbiasa melihat bola mata itu. Kesedihan, penyesalan, dan kehilangan. Aku melihatnya sepanjang hidup ku dalam setahun terakhir. Namun, kali ini kenapa terasa lebih menyakitkan bagi ku?

Aku menatapnya khawatir. Jika seperti ini, aku lah yang akan menunggunya menjelaskan, aku yang akan mendengar nya tanpa banyak berkata, dan aku yang akan membaca pikirannya tanpa harus dijelaskan. Aku akan tau setiap alasan yang membuatnya menjadi seperti ini.

Namun, dari semua kebiasaan yang ku lakukan, ku rasa kali ini tak berdampak baginya. Sebab apapun yang akan coba ku lakukan, penyebab nya tak lain adalah aku.

Tubuh ku menegang saat tanpa sengaja pandangan ku menangkap sebuah buku kecil yang berada dalam genggaman nya.

Aku tersenyum miris. "Kau...membacanya?"

Ia tak kunjung menjawab, menatap ku dengan tatapan yang tak ku mengerti. Ku jaga mata ku, menunduk, berusaha tak memandangnya. Lama kita saling diam menunggu kalimat apa yang selanjutnya terlontarkan hingga aku menemukan satu kalimat yang pantas ku ucapkan.

"Apa...sebaiknya...kita bercerai?" diamnya sudah jelas bagi ku untuk mengambil langkah. "Bodoh, harusnya aku tak perlu mempertanyakan kejelasan nya" gumam ku menahan sesuatu yang mengaburkan penglihatan ku.

"Kau yakin dengan keputusan mu?" aku mengangguk, menahan gejolak yang sebentar lagi meluap. "Baiklah kalau itu yang kau inginkan" ucapnya membuat ku tampak menyedihkan.

"Lagi pula sejak awal hubungan ini sudah salah, aku juga sudah terlalu membebani mu sampai-sampai aku mengabaikan perasaan mu" dia menghela nafas berat. "Ku rasa sudah saat nya aku membebaskan mu, bukan begitu?" suaranya terdengar berat. "Dan...maafkan aku untuk ini..." ia menyerahkan buku catatan harian ku.

Tangan ku bergetar menerimanya. "Aku...tak sengaja membacanya" sambung nya lagi. "Tapi, aku akan beranggapan tak pernah membacanya. Jadi, kau tak perlu sungkan dan merasa malu terhadap ku. Lagi pula...perasaan itu sangat wajar muncul karena kita sudah setahun hidup bersama. Aku memaklumi nya dan....maafkan aku karena tak bisa memiliki perasaan yang sama dengan mu. Karena..."

"...sudah cukup satu cinta yang mengisi hati mu" sambung ku pilu, memberanikan diri menatap nya langsung. Ku paksakan senyum tulus ku mengembang. "Kau tak perlu minta maaf atas cinta tak berbalas ku. Ini hanya perasaan saja, lambat laun juga pasti akan menghilang. Aku sangat pintar mengubah haluan perasaan ku sendiri. Jadi jangan khawatir" jawab ku panjang lebar.

Dia tersenyum kecil, tampak terpaksa. "Ku rasa begitu, aku tak pernah meragukan mu dalam hal ini. Andai aku sepintar dirimu untuk mengubah haluan nya, aku juga sudah pasti akan memiliki perasaan yang sama dengan mu. Maaf"

Aku menggeleng. "Jangan minta maaf, itu membebani ku. Aku jadi merasa dicampakkan dengan kejam" canda ku sebisa mungkin mencairkan suasana. "Baik lah, aku akan beres-beres"

"Tidak perlu..."

Aku menggeleng. "Tidak, tidak. Ini rumah mu. Aku yang akan angkat kaki dari sini"

Dia menatap ku sebentar. "Baik lah kalau itu yang kau mau. Sampai jumpa di pengadilan. Aku keluar" ucapnya mendapat anggukan dari ku, kemudian pergi meninggalkan kamar ku.

Pernikahan impian? Kehidupan bahagia? Keluarga kecil? Itu hanya dongeng dalam khayalan ku.

Sejak aku merealisasikan nya melalui pernikahan ini, semua bayangan itu tak pernah muncul dalam kehidupan nyata ku. Mungkin karena pernikahan ini memang sejak awal tak pernah diinginkan nya. Pernikahan tanpa hati, pernikahan atas dasar pertemanan, dan pernikahan egois ini nyata nya tak semulus pandangan ku.

Apa yang tersisa hanya cinta tak berbalas yang ku terima. Cinta yang ku pendam bertahun-tahun lama nya akhirnya tetap tak dapat ku perjuangkan juga.

Perjuangkan?

Tak ada perjuangan, aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengakhirinya.

Satu hal yang ku sesali. Aku terlalu percaya dunia fiksi sampai aku melupakan dunia tempat dimana aku berada sekarang. Dia, pria yang ku cintai belasan tahun, pria yang masih mencintai sahabat ku, aku menikahi pria seperti itu.

Ketika pernikahan mereka sudah diujung mata, hal tak diinginkan datang menghancurkan semuanya. Perbedaan prinsip antar orang tua hingga mengakibatkan tak direstuinya hubungan mereka, usaha tak bernilai hingga akhirnya memilih jalan masing-masing, sampai berada pada titik keputusasaan hingga mengharuskan ku terjebak dalam pernikahan ini.

Pernikahan atas dasar kepercayaan bahwa tak ada cinta di dalamnya. Pernikahan yang membebaskan ku untuk mengakhirinya kapan pun aku mau. Dan pernikahan yang memutuskan ku untuk mengakhirinya jika dia tau bahwa pernikahan ini bukan pernikahan tanpa cinta, melainkan cinta sepihak yang ku miliki lah yang mengundang ku menerimanya dan cinta sepihak itu juga yang pada akhirnya akan mengakhirinya.

Sampai waktu itu datang. Waktu yang menariknya menemukan isi hati ku yang telah lama tersimpan dalam buku harian ku. Buku yang selalu ku jaga kerahasiaannya, akhirnya ia membukanya. Bukan kah sejak awal aku memang sudah kalah?

Saat dimana rahasia ku terbongkar itu artinya hidup pernikahan ini juga harus dihentikan. Saatnya menggunakan kata 'Cerai' untuk mengakhiri ketidak mampuan ku meraih hatinya yang tak kan pernah terketuk sedikit pun oleh ku.

Sudah saatnya kami berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing meski nyata nya kehidupan pernikahan kami tak jauh dari sekedar tetangga kamar.



TBC....

Please, Accept My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang