Sembunyi Di Balik Senyum

4.8K 352 5
                                    

"Dimana teman mu yang satunya? Kau bilang kita berenam" Tifa mempersilakan keduanya duduk.

Kami memutuskan menutup perpus lebih awal. Kian dan aku membuatkan minuman untuk mereka.

"Dia sedang tugas, jadi hanya kami yang datang. Menunggu semua kumpul ku rasa waktunya tak akan cukup" jawab Azka seraya mengedarkan pandangannya menelusuri tempat ini. "Apa tak apa perpus mu ditutup lebih awal?"

"Sesekali tak masalah. Lagi pula tak terlalu mempengaruhi penghasilan" canda Tifa seiring aku dan Kian datang menghidangkan camilan dan minuman kemudian ikut bergabung.

"Hay" sapa Azka pada ku dengan senyum lebarnya. "Kenalkan, dia teman yang ku ceritakan kemarin. Namanya Axell"

Aku meliriknya sekilas. Tatapannya begitu menenangkan namun seakan mencoba mengintimidasi ku. Rasa tak nyaman dan gelisah menguras keringat ku keluar. Ini begitu mendadak. Aku belum pernah mempersiapkan diri ku jika bertemu dengannya seperti ini.

"Dan dia..." gantian Azka mengenalkan ku padanya. "Zizi, gadis yang sering ku ceritakan pada mu"

Saat nama ku disebut, ku minum teh ku untuk menghilangkan tenggorokan ku yang terasa sangat kering.

Ku dengar dia berdehem. "Oh...jadi dia calon kekasih mu?"

Apa hanya aku yang merasa suara nya terdengar dingin sedang yang lain menimpalinya dengan tawa dan godaan?

"Ya begitulah, aku sedang mencoba. Dia sangat tertutup dan sulit ditaklukkan. Sikap dinginnya sama seperti mu. Kalau kalian pacaran aku tak yakin kalian bisa bertahan dalam satu hari"

Aku tersenyum kecut mendengarnya seraya meletakkan gelas ku kembali. Namun senyum ku seketika menghilang, tercekat mendengar penuturannya.

"Bahkan kami bisa bertahan selama 1 tahun..."

Semua menoleh ke arahnya, sedang yang dipandang terlihat santai menikmati kopinya. Leher ku juga terlalu kaku untuk bergerak secenti pun.

"Atau lebih jika mau..." sambungnya, ia meletakkan cangkirnya dan memainkannya tanpa menoleh pada kami. "Hanya menerawang jika kau tak berhasil menggaetnya" candanya membuat ku bernafas lega, mengusap bulir keringat yang keluar dari dahi ku.

Azka tertawa keras, sedang Tifa dan Kian tersenyum jahil pada ku.

Aku menarik nafas panjang melepas beban yang mendadak membuat ku sedikit sesak. Ku pandang kosong cangkir di tangan ku. Pertemuan ini tak menyenangkan ku, meski beberapa jam sebelumnya aku malah berbalik mencarinya tanpa memikirkan apa yang perlu ku katakan untuk kalimat sapaan, kedatangannya yang tak terpikirkan ini seolah kembali mengurung ku pada masa lalu.

"Aku permisi ke atas sebentar, ada yang perlu ku urus" ijin ku lalu berjalan lesu setelah mendapat anggukan mereka.

Pandangan ku cepat-cepat ku alihkan ketika tatapan mata kami bertemu dengan dia yang menatap ku juga. Tak menghiraukannya, lebih baik menghindar menghilangkan kecanggungan yang membuat ku tak nyaman.

Ku buka pintu kamar ku, menyalakan lampu, kemudian melepas jaket ku dan membaringkan tubuh ku di ranjang. Ku hela nafas berat, menatap langit-langit kamar, menerawang dengan meletakkan lengan ku di dahi.

Dia masih sama seperti pria yang ku sukai dulu. Tak ada yang berbeda darinya, hanya lebih dingin dan tenang dari sebelumnya. Tak ada emosi yang terlihat. Ku rasa keputusan kami berpisah memang jalan yang terbaik.

Ah, apa yang ku harapkan? Memang itu yang terbaik tanpa perlu berpikir lagi.

Sudah beberapa kali ku hela nafas panjang, tapi beban di kepala ku tak kunjung luntur. Ku miringkan tubuh ku, mencoba memejamkan mata, aku ingin tidur sejenak.

Please, Accept My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang