Ke-ramahan Pertama Ku

3.9K 264 6
                                    

"Pagi..." wajah riang Azka menyapa ku saat turun.

"Sepagi ini?" aku mendekatinya.

Senyum nya tersungging. "Beberapa hari ini tugas ku banyak sekali sampai tak ada waktu bertemu dengan mu. Bagaimana kabar mu? Kau baik-baik saja?"

Tifa dan Kian tertawa geli.

Aku menatapnya malas. "Maaf kalau terlalu kasar, tapi pertanyaan konyol mu itu lebih baik kau buang saja di tong sampah"

"Wah...kau terlalu kasar" Azka menggoyangkan jari telunjuknya sambil terus tersenyum. "Okey, aku akan membuangnya setelah aku mencicipi sarapan buatan mu"

"Sayang sekali..." Tifa menimpali. "Bahan makanan di dalam kulkas hanya cukup untuk 2 orang"

"Bagus, ini kesempatan ku mengajak nya sarapan di luar bersama ku" ia kembali memandang ku. "Kau setujukan?"

"Aku tidak lapar. Aku harus bekerja sekarang"

"Tenang saja..." timpal Kian. Aku melotot padanya diam-diam. Ia mengabaikan ku. "Kau masih punya waktu 30 menit. Azka bisa mengantar mu dengan mobilnya, dijamin tak akan terlambat"

"Ku tunggu di mobil" ucapnya pergi tak ingin ku bantah.

Aku menyerah dan mengikutinya tanpa minat. Ku tinggalkan jitakan ringan di kepala Kian dan Tifa.

"Punya rekomendasi tempat makan?" tanya nya tepat saat aku duduk di kursi penumpang di sampingnya.

Ku pasang sabuk pengaman ku. "Dekat apotek ada kafe kecil, kita kesana saja"

"Kita ke kafe favorite ku saja kalau begitu" putusnya menjalankan mobilnya.

"Aku tak suka terlambat, kita ke kafe dekat apotek saja" aku bersi kukuh

"Kau jarang makan siang. Kita harus makan makanan berat pagi ini. Aku janji kita tak akan terlambat"

"Kalau kau juga kerja sebaiknya langsung antarkan saja aku ke apotek"

"Tidak mau. Ini kesempatan langka aku bisa mengajak mu makan berdua saja"

Ku hela nafas panjang. "Ini pertama dan terakhir kalinya" nada ku serius. "Aku tak suka cara mu kali ini"

Senyum nya tampak sedikit kecewa, aku tak memperdulikannya. "Kalau Axell yang melakukannya, apa kau juga akan membencinya?" tanya nya tiba-tiba. "Hubungan kalian sangat jelas di mata ku"

"Ku rasa kau perlu menyadari hubungan kita tak sedekat itu untuk kau menanyakan nya"

Ia tak menjawab, hanya memberi senyum pahitnya.

*****

Sepanjang perjalanan ia mendiami ku. Aku tak mempermasalahkannya, diamnya kenyamanan bagi ku. Usai percakapan itu, ntah mengapa ia memutar jalur mengantar ku langsung ke tempat kerja ku. Aku bungkam, tak menanyakannya. Sebelum itu, ia meyempatkan berhenti di salah satu tempat makan dan kembali dengan cepat membawa beberapa jenis makanan dengan plastik terpisah.

"Ini bawalah..." ucapnya saat aku hendak turun. Aku mengerutkan dahi ku. Ia justru memberi ku senyum terhangatnya, mengusap dahi ku hingga kembali rata. "Maaf, aku tak akan mengulangi percakapan kita tadi. Ketidaknyamanan mu tadi...aku menyesal"

Perkataan tulusnya sedikit menggoyahkan ego ku. Aku menatapnya lama tanpa berniat membalas ucapannya. Ntah apa yang ku pikirkan, ku rasa aku terlalu kasar memperlakukannya.

Aku mengangguk kecil menerima plastik yang disodorkannya, kemudian turun dari mobilnya.

"Sampai ketemu nanti" pamitnya.

Please, Accept My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang