Ungkapan Sederhana

3.4K 233 6
                                    

Dia pergi terlalu lama dan sulit untuk ku percaya bahwa cinta datang disaat kita tak lagi bersama. Bila cintanya memaksa ku percaya, apa yang harus ku lakukan? Aku semakin ragu dengan apa yang ku pertahankan dalam pikiran ku saat ini.

"Jadi kau sakit?"

Dia datang lebih awal, menjadi pelanggan pertama kamis ini. Tatapan intensnya menyapaku tiba-tiba. Aku memang sedang mengambil cuti sakit beberapa hari. Keadaan ku sedang tak fit. Kami juga jarang bertemu. Ku dengar dia baru pulang dari luar kota karena tugas dadakan. Azka yang memberitahu ku waktu itu.

"Kau mengabaikan panggilan ku"

Memang sejak kejadian malam itu, Axell beberapa kali menghubungi ku. Bahkan ia menggunakan ponsel Azka agar dapat berbicara pada ku. Sekali dia melakukannya aku tak pernah lagi menjawab telefon dari siapa pun yang berhubungan dengan Axell. Aku sedang menghindarinya. Aku sedang tak ingin diganggu olehnya. Tidak, lebih tepatnya aku sedang tak ingin diganggu oleh perasaan ku sendiri terhadapnya.

"Bicaralah satu kalimat, kau terlalu lama mendiami ku"

Aku berjalan ke arah Kian yang tengah merapikan buku-buku di rak. Aku membantunya alih-alih mengabaikan Axell yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Zi..."

Arah pandangnya tak luput dari ku. Kian beberapa kali menyikut ku, menyuruh ku menanggapinya dengan lirikan matanya. Aku tak meggubrisnya.

"Baiklah. Aku akan kembali nanti" pasrahnya. "Ini obat dari ibu ku. Obat yang selalu ibu ku buat untuk mu dulu" ia meletakkan tas yang dibawanya di atas meja. "Aku sempat mampir kemarin. Mendengar keadaan mu, ibu ku langsung membuatkannya untuk mu. Semoga kau tak keberatan menghabiskannya.

Aku pamit, ada laporan yang harus ku selesaikan siang ini. Saat aku kembali nanti, semoga kau mau bicara pada ku lagi. Cepat sembuh"

Melihatnya meninggalkan tempat ini aku baru bisa bernafas lega, berjongkok, menyenderkan tubuh ku. Kepala ku semakin sakit mendengarnya bicara pada ku. Bukan karena keberadaannya, tapi mendapatinya seperti itu justru membuat ku merasa bersalah.

"Kau terlalu egois, Zi. Kau terlalu keras kepala" tutur Kian menceramahi ku tanpa meninggalkan pekerjaannya. "Seberapa jauh kau menghindarinya, tak ada waktu untuknya menjauhi mu. Dia akan terus menghampiri mu"

"Ntah lah..."

"Kalau kau bisa menahan perasaan mu lebih lama lagi, katakan padanya agar dia tak terlalu mengharapkan mu"

"Aku melakukannya setiap hari..."

"Selama ini kau melakukan hal-hal yang terdengar omong kosong, sebaliknya kau menunggu nya setiap hari" aku mendengus. "Kau tak bisa membohongi siapa pun dengan sikap mu itu. Axell bukan pria bodoh yang tak memahami alur pikiran mu itu"

Aku memandangnya tak suka. "Maksud mu?"

"Selama ini kau selalu menunggunya, maka dari itu dia datang dan terus akan datang sampai kau menyerah dengan perasaan mu. Percuma kau menahannya karena sudah sangat jelas kau tak akan berhenti menunggunya" ucap Kian menyelesaikan pekerjaannya.

Aku berdecak kesal. "Lalu dia..."

"Sebenarnya dia hanya punya satu jurus untuk menaklukan mu" dahi ku berkerut. "Melamar mu ku rasa cara yang pas untuk membuat mu semakin terpojok"

"Terkadang kau terlalu pintar mengada-ada"

"Tidak, aku mengutarakan isi pikiran ku. Dia akan melakukannya, tapi dia sedang bersabar untuk melakukannya..."

"Bodoh..."

"Kau yang bodoh. Padahal masalahnya cukup sederhana, kalian sama-sama saling menyukai, tinggal terima dia di samping mu. Tapi sifat keras kepala mu itu selalu membuatnya runyam" dia geleng kepala. "Aku tak mengerti jalan pikiran mu yang terlalu berbelit-belit" ucapnya berjalan melangkahi kaki ku yang terjulur.

Please, Accept My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang