Tamat

782 42 1
                                    

BETH'S P.O.V.

Ponsel itu tercengkeram  erat di tanganku seraya aku berjalan bolak-balik di apartemen kami.  Telapak tanganku lembab dan ponselku menyelinap beberapa kali akibat  permukaan yang licin. Ia seharusnya menelponku satu jam yang lalu. Aku  memberitahunya, mengingatkannya, memintanya setiap menit sebelumnya  untuk kehadirannya didekatku agar menelponku sebelum audisinya yang  berlangsung 10 menit lalu.

Ya, bajinganku akhirnya  menyerah. Ia akhirnya mematuhi permintaanku yang tak terjawab. Setelah  hampir 4 bulan memberitahu betapa luar-biasa dan menakjubkan suaranya  itu, bagaimana itu merupakan anugerah baginya yang harus ia manfaatkan.  Ia akhirnya memikirkan tentang itu, dan ia bilang ia akan melakukannya.  Hanya untukku.

Ia hanya takut  ditertawakan, untuk kembali direndahkan seperti dulu. Aku tak  menyalahkannya, 4 tahun itu cukup meninggalkan dampak di otaknya dan  memori itu tak akan menghilang dengan mudah. Ia bilang itu bagian dari  dirinya dan hatiku berkibar mendengar kalimatnya. Bahkan pengingatan  akan kalimatnya membuat hatiku berkibar.

Ponsel yang terletak  diantara pergelangan tanganku bergetar. Harapan yang telah sirna  akhirnya kembali hidup. Namanya yang muncul di layar ponselku membuatku  semangat.

"Harry! Sudah kubilang  agar menelponku sebelum audisi." Ledakku sesaat ia menjawab ponselnya.  Suara bersorak dan terakkan yang menjengkelkan bergema dari ponsel  bukannya suaranya.

"Harry? Kau di...."

"Isn't she lovely, isn't she wonderful. Isn't she precious, less than one minute old." Suara  yang menyelaku membuatku kebingungan. Informasi yang kutahu hanyalah  aku dapat menyerap jelas bahwa faktanya suara itu jelas nyanyian Harry  di microphone. Aku juga mengingat lagu itu, lagu yang ia nyanyikan pada saat ini semua dimulai.

Aku memejamkan mataku,  mendengar jelas-jelas suara lembut yang sangat ingin mudengar sejak  menit pertama hari ini. Semua memori pada hari itu bermain di hadapan  mataku seperti film. Gambaran yang terputar di pikiranku berakhir tepat saat suaranya berhenti, suara beep  terdengar. Aku menghela saat nelihat bahwa panggilannya yang sudah  terputus muncul di layarku. Kakiku mengarahkanku ke sofa, terjatuh  diatasnya dan terdiam. Ponsel itu kutekan didadaku, jari tersilang  seraya aku menatap atap menunggu ponselku untuk kembali bergetar dengan  tak-sabar. Pikiranku kembali meyakinkanku bahwa tak ada kemungkinan  Harry tak-akan sukses.

Suara ponselku yang  kembali berdering mengambil perhatianku dan aku merasakan perutku  mengerat. Napasku sudah tak stabil saat aku melihat nama Harry di layar,  foto nakal dirinya terpampang. Menenangkan diriku, aku menekan ponselku  ke telingaku.

"Selamat pagi cantik." Aku dapat merasakan senyum sombong di wajahnya selagi ia berbicara.

"Sejarang jam 2 siang, Harry." Tunjukki mendengar kekehan darinya. Aku merindukan suara ini, sangat.

"Aku mencintaimu." Ujar Harry dan aku tersenyum.

"Aku juga mecintaimu, tapi beritahu aku apa yang terjadi?"

"Aku merindukanmu." Jawab Harry, menggodaku.

"Harry! beritahu aku apa yang terjadi? Apakah kau berhasil?" Rengekku. Aku sangat penasaran.

"Jadi kau tak merindukanku?" Gambaran dirinya tersenyum akan rengekkan anak-kecilku entah mengapa mencengangkan diriku.

"Aku merindukanmu,  sangat. Maukah kau memberitahuku? Kumohon." Pintaku, mendengarnya  kembali terkekeh. aku tak sabar menunggu balasannya seraya ia menghirup  napas dalam.

"Aku berhasil, sayang. Aku sukses. Semuanya karenamu."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Itu tiga tahun yang  lalu, sudah lama sekali. Banyak yang terjadi sejak itu, banyak hal yang  sangat tak-terduga terjadi semenjak itu. Salah satu hal terbesar, yang  mengubah Harry adalah ia masuk ke dalam bagian boyband terbesar di dunia, One Direction. Tiket konser yang terjual, album debut nomor. 1, tur, sampul majalah, penggemar gila, wartawan dan banyak lagi. Ini semua sangat gila.

Disinilah aku, duduk di  tempat tidur apartemen kami di London. Telah lewat 15 menit sejak  kedatanganku dari New York sementara Harry sedang dalam perjalanannya  pulang dari Jepang. Siapa yang tahu akan ada hari dimana kami berdua  berada di dua sisi dunia yang berbeda. Harry sedang tur belakangan ini  ke lokasi yang berbeda dan juga akan pulang beberapa saat lagi. Aku  memilki kunjungan resmi ke USA dan sekarang mengumumkan cuti seminggu  untuk bergabung dengannya beristirahat. Gambaran itu membuat perutku  membolak. Telah lewat satu bulan sejak pertemuan terakhir kami dan aku  menginginkan kehadirannnya disampingku. Kami berskype, menelpon,  mengirim pesan pada setiap kesempatan yang kami terima seperti hubungan  jarak-jauh lainnya. Tapi ini lebih dari lama dan aku ingin-harus  melihatnya.

Aku tiba dahulu karena  waktuku hanya 7 jam tapi waktunya 10 jam. Ia akan mendarat kapanpun saja  dan aku terlalu malas untuk melakukan segala hal hingga ia tiba. Setiap  menit yang berdetik mencengangkanku.

"Kami masih memiliki 11  jam dan 43 menit. Terlalu lama bukankah begitu?" Ujary Harry sesaat aku  menekan ponsel ke telingaku. Panggilannya memberiku bukti bahwa ia  akhirnya telah tiba di London.

"Kau telah bilang begitu  11 jam yang lalu." Rujukku, tersenyum akan betapa lelah suaranya  terdengar dan betapa mencengangkan suara seraknya itu.

"Tidak. Aku bilang  begitu 11 jam dan 42 menit lalu." Butuh sedikit waktu untuk memproses  kalimatnya namun sebelum aku dapat bereaksi suara dentuman pintu  membuatku langsung menginjak lantai dan seruan kesenangan dan  kegembiraan mengalir di tubuhku. Kaki-telanjang, aku berlari keluar dari  kamar beberapa kali kehilangan keseimbangan karena permukaan licin  dibawahku.

Bahkan setelah mengalami  hal yang sama beberapa kali, hatiku selalu berdegup setiap saat aku  melihatnya berjalan melewati pintu itu. Berdiri disana, aku menatap ia  menutup pintu dibaliknya. Tatapan coklatnya berantakan dibalik headband berwarna hijau gelapnya. Mantel biru panjang mencerahkan tubuhnya dengan sempurna, simpelnya ia indah.

Senyum besar menguasai  fitur malasnya saat ia menyadari aku berdiri di ujung, lengannya  menyambutku dalam pelukan hangat. Terburu-buru menuju figur tinggi  berototnya. Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dari bawah  mantelnya. Pipiku menekan dadanya, jantungnya yang berdegup stabil  menenangkan milikku. Lengan kuat Harry melingkar disekitar bahuku,  bibirnya menekan puncak kepalaku. Itulah bagaimana ini semua selalu  berjalan, tak satu pun dari kami berbicara, hanya melingkarkan tubuh  satu sama lain, mengisi keinginan yang kami kontrol. Bagaimana kami  berpelukan satu sama lain lebih baik dari kalimat yang dapat kami  ucapkan.

Aku menghirup napas dalam, aroma memabukkan mengisi setiap inderaku, sesuatu yang kusuka.

"Sayang, aku pulang."  Bisik Harry di telingaku, suaranya lebih serak dari terakhir kali aku  mendengarnya memberiku tanda akan betapa lelahnya dia. Senyum melengkung  di bibirku, tawa stabil keluar dari mulutku. Ia telah menyeringai saat  aku mendongak padanya, lesung-pipit terlihat jelas di kedua sisi. Aku  menjinjit, mencium lesung-pipit kirinya, kebiasaan yang mulai  kubiasakan. Harry mendadak berbalik, bibirku malah tertekan ke bibir  tebalnya bukannya target yang kuinginkan. Terdapat tanda senyuman di  kedua bibir kami, rasa mint di mulutnya menambah sensasi itu.

Lalu apa, nama  belakangku menjadi Styles dalam hitungan bulan, dan dalam 2 tahun lagi  sepasang anak-kembar akan berlari di rumah kami, bersorak-sorai dan  berseru mencerahkan keheningan bosan kami.

Dan masih banyak lagi yang akan kami lalui dan telah kami lalui, seperti kisah cinta biasa berakhir.

Intinya, kau tak akan  pernah memprediksi apapun dari hidupmu. Hidup itu penuh kejutan,  beberapa menakjubkan dan beberapa mungkin menyenangkan. Jadi saat kau  mengetahui terhadap apa yang akan diberikan oleh hidupmu mengapa kau  menyerah?

Hatimu pasti akan  tersakiti tak habis-habisnya, kau akan dikhianati banyak kali tapi akan  ada saat dimana, ada satu orang yang layak menerima semua tangisan dan  kesakitanmu. Pasti selalu ada satu orang dan aku dapat menjaminnya. Tapi  ada kondisi sederhana disepanjang itu. Kalau kau harus melihat ke dalam  diri seseorang dibandingkan hanya mengabaikan melihat dari penampilan  luarnya.

Ingatlah satu hal,  keindahan bukanlah berasal dari wajah, melainkan berasal dari cahaya  yang menerangi hatinya. Cahaya yang berhak kau temukan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

When we're 19 (Indonesian Translation)Where stories live. Discover now