HARRY'S P.O.V.
Aku bermain dengan ponsel hitamku, menunggu Dave untuk membalas pesanku. Tak sabar aku menunggu beberapa orang, berjalan maju mundur di campuran kerikil dimana mobilku diparkir. Aku mendongak ke gedung besar menunggu Beth untuk keluar atau Dave yang muncul.
Pertama, aku ingin berbicara pada Dave tentang apa yang ia ocehkan pada Beth padahal aku telah memberitahu bajingan itu agar tidak berbicara padanya. Tapi tentu, ia seorang bajingan dan itu kebiasaannya untuk selalu merayu gadis yang kusuka. Ia seharusnya tahu bahwa sekarang telah berbeda, jika ia membuat satu pergerakan lagi dengan gadisku aku akan menghabisinya, semuanya mempunyai batas dan ia harus mengetahui itu. Aku memperingati ia sebelumnya dan aku memperingatinya sekarang.
Ia bahkan tidak memperdulikan urusannya sendiri. Ia pacarku, ini pilihanku apakah harus perduli padanya atau tidak. Apapun yang kulakukan dengannya atau padanya. Itu bukan urusannya.
Hari dimana ia berpikir aku tidak menyadari perilakunya terhadapku padahal aku sadar, Aku mencoba untuk memahami sendiri balasan itu bukannya menanyakannya tapi gagal. Apapun itu, aku penasaran untuk mengetahui percakapan kecil yang mereka bagi. Aku malahan menunggu Dave diluar tempat kuno selama satu jam pada hari Sabtu bukannya membawa Beth keluar karena aku telah berjanji tapi bajingan itu tak kunjung muncul. Aku sangat menyadari bahwa ia mencoba menghindari bertemu denganku tapi ia tak akan kabur kali ini, ia seharusnya tahu. Dan jika ia benar-benar tak muncul, aku tidak bertoleransi pada sikap buruk ini jadi aku akan menghabisinya secara langsung.
Ia benar-benar pemberontak.
Ponselku bergetar mendorong pikiranku kebelakang. Aku tak mengambil waktu untuk membaca pesannya yang membuatku bahkan lebih kesal dari sebelumnya.
ayo bertemu ditempatku jam 6. Aku sedikit sibuk dengan seseorang.
Aku bersikap berlawanan membalas pesannya dan menyelipkan ponselku di kantung belakangku. Pikiranku sedikit frustasi dengan semua ini dan aku mencoba untuk menenangkan diriku sebelum Beth datang. Sebuah senyum terukir di bibirku saat aku mengingat betapa gugup dan tak percaya dirinya ia beberapa bulan lalu. Kuyakin ia akan bersikap baik dan juga jika mereka tidak memperkerjakannya dengan simpelnya mereka adalah orang idiot yang kehilangan.
Aku harus memperbaiki perilakuku sebelum ia datang.
Mengistirahatkan punggungku di mobil, aku mengusap keningku beberapa kali tapi senyumanku tetap tak pudar. Aku merasa sangat senang sekarang, setelah semuanya. Aku menemukan diriku sering tersenyum, mengingat hal kecil yang terjadi dengannya atau apapun yang ia katakan. Hidup setidaknya berbuat baik padaku.
Ketika aku mendongak, mataku langsung mendarat pada perempuan yang kupikirkan. Ia memakai gaun berwarna hijau yang kupilih kontras dengan sepatu hak tinggi favoritnya. Gaun itu sedikit merangsangku, ia terlihat sangat luar-biasa. Rambut coklat mengayun dibelakangnya selagi ia berjalan menujuku. Satu tangan menahan rambut lembut itu di tempat sementara yang lainnya memegang dokumen. Kecepatannya meningkat setelah langkah terakhir, senyumnya melebar.
Tangannya terangkat dan jatuh disekitar lenganku, meremas dengan lembut. Tanganku menyelinap ke pinggangnya, meremas ia semakin dekat ke arahku. Aroma parfumnya yang ringan tapi adiktif mengisi lubang hidungku dan aku bahkan lebih banyak menghirupnya.
"Aku berhasil, Harry." ia berbisik di telingaku.
"Aku sangat bangga denganmu, sayang." Aku menekankan ciuman di lehernya sebelum ia melepas pelukan hangatku.
"Aku lapar." ucapnya, menepuk perutnya. Aku membukakan pintu untuknya, tersenyum pada diri nakalnya.
"Aku juga." ia berdiri di depan pintu yang terbuka, masih menatapku.
"Apa yang kau inginkan kalau begitu?" Kami sering memiliki pilihan macam-macam pada makanan atau restoran. Kami berargumen beberapa kali tapi kami berdua akhirnya berkompromi, aku menyukai itu.
"Kau." aku tersenyum lebar pada perempuan yang terkekeh itu, menyender menciumkan bibirku padanya. Ia terkekeh di bibirku sebelum bergerak padaku selama beberapa saat.
"Kau tak tahu betapa seksinya bokongmu terlihat di gaun ini." ucapku di pipinya, mengusap bibirku. Nafasnya tercekik diikuti ketegangan tubuh. Aku suka dampak yang kutimbulkan padanya.
"Masuk ke dalam mobil." Beth dengan nakal mendorongku, mencoba menutupi rona di pipinya. Aku terkekeh, melompat ke sisi mobil. Kami memutuskan untuk berhenti di Subway di ujung jalan.
"Kapan kau akan mulai bekerja?" tanyaku, menatap sekilas padanya.
"Minggu depan. Kemungkinan saat mereka memilih orang kedua." jelasnya, bangga akan kesuksesannya menjadi orang pertama.
"Dan aku akan mendapatkan kunci untuk apartemenku besok." tambahnya, suaranya penuh dengan kegembiraan. Aku mengambil tangannya padaku, menekankan ciuman di punggung tangannya, fokusku masih di jalan.
"Aku sangat senang untukmu." ucapku padanya. Ia menjaga tanganku padanya, menjalin jari kami bersama.
Aku memarkirkan mobilku di depan Subway. Tak terlalu lapar untuk sebuah Sandwich yang besar. Aku hanya akan mengunyah sedikit bagian darinya.
Tokonya tak terlalu ramai. Hanya beberapa pasangan yang duduk di ujung. Toh, Ini jam kerja. Pasangan itu terlihat tak asing, terlalu tak asing. Perempuan itu memutar dari tempat duduknya dan matanya langsung bertemu denganku.
"Harry?" ucap Marie.
Astaga tidak. Sial. Marie sialan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
YOU ARE READING
When we're 19 (Indonesian Translation)
Fanfiction"Kesepakatan kita adalah 19." bisik Harry, hidung kami saling bersentuhan dengan genit. Lesung pipinya terlihat semakin dalam dari kedua sisi seiring dengan tawa yang keluar dari mulutku. "Aku milikmu." {buku ini terjemahan indonesia dari buku yang...