Bagian 31

458 42 1
                                    

HARRY'S P.O.V.

Aku bermain dengan  ponsel hitamku, menunggu Dave untuk membalas pesanku. Tak sabar aku  menunggu beberapa orang, berjalan maju mundur di campuran kerikil dimana  mobilku diparkir. Aku mendongak ke gedung besar menunggu Beth untuk  keluar atau Dave yang muncul.

Pertama, aku ingin  berbicara pada Dave tentang apa yang ia ocehkan pada Beth padahal aku  telah memberitahu bajingan itu agar tidak berbicara padanya. Tapi tentu,  ia seorang bajingan dan itu kebiasaannya untuk selalu merayu gadis yang  kusuka. Ia seharusnya tahu bahwa sekarang telah berbeda, jika ia  membuat satu pergerakan lagi dengan gadisku aku akan menghabisinya,  semuanya mempunyai batas dan ia harus mengetahui itu. Aku memperingati  ia sebelumnya dan aku memperingatinya sekarang.

Ia bahkan tidak  memperdulikan urusannya sendiri. Ia pacarku, ini pilihanku apakah harus  perduli padanya atau tidak. Apapun yang kulakukan dengannya atau  padanya. Itu bukan urusannya.

Hari dimana ia berpikir  aku tidak menyadari perilakunya terhadapku padahal aku sadar, Aku  mencoba untuk memahami sendiri balasan itu bukannya menanyakannya tapi  gagal. Apapun itu, aku penasaran untuk mengetahui percakapan kecil yang  mereka bagi. Aku malahan menunggu Dave diluar tempat kuno selama satu  jam pada hari Sabtu bukannya membawa Beth keluar karena aku telah  berjanji tapi bajingan itu tak kunjung muncul. Aku sangat menyadari  bahwa ia mencoba menghindari bertemu denganku tapi ia tak akan kabur  kali ini, ia seharusnya tahu. Dan jika ia benar-benar tak muncul, aku  tidak bertoleransi pada sikap buruk ini jadi aku akan menghabisinya  secara langsung.

Ia benar-benar pemberontak.

Ponselku bergetar  mendorong pikiranku kebelakang. Aku tak mengambil waktu untuk membaca  pesannya yang membuatku bahkan lebih kesal dari sebelumnya.

ayo bertemu ditempatku jam 6. Aku sedikit sibuk dengan seseorang.

Aku bersikap berlawanan  membalas pesannya dan menyelipkan ponselku di kantung belakangku.  Pikiranku sedikit frustasi dengan semua ini dan aku mencoba untuk  menenangkan diriku sebelum Beth datang. Sebuah senyum terukir di bibirku  saat aku mengingat betapa gugup dan tak percaya dirinya ia beberapa  bulan lalu. Kuyakin ia akan bersikap baik dan juga jika mereka tidak  memperkerjakannya dengan simpelnya mereka adalah orang idiot yang  kehilangan.

Aku harus memperbaiki perilakuku sebelum ia datang.

Mengistirahatkan  punggungku di mobil, aku mengusap keningku beberapa kali tapi senyumanku  tetap tak pudar. Aku merasa sangat senang sekarang, setelah semuanya.  Aku menemukan diriku sering tersenyum, mengingat hal kecil yang terjadi  dengannya atau apapun yang ia katakan. Hidup setidaknya berbuat baik  padaku.

Ketika aku mendongak,  mataku langsung mendarat pada perempuan yang kupikirkan. Ia memakai gaun  berwarna hijau yang kupilih kontras dengan sepatu hak tinggi  favoritnya. Gaun itu sedikit merangsangku, ia terlihat sangat  luar-biasa. Rambut coklat mengayun dibelakangnya selagi ia berjalan  menujuku. Satu tangan menahan rambut lembut itu di tempat sementara yang  lainnya memegang dokumen. Kecepatannya meningkat setelah langkah  terakhir, senyumnya melebar.

Tangannya terangkat dan  jatuh disekitar lenganku, meremas dengan lembut. Tanganku menyelinap ke  pinggangnya, meremas ia semakin dekat ke arahku. Aroma parfumnya yang  ringan tapi adiktif mengisi lubang hidungku dan aku bahkan lebih banyak  menghirupnya.

"Aku berhasil, Harry." ia berbisik di telingaku.

"Aku sangat bangga denganmu, sayang." Aku menekankan ciuman di lehernya sebelum ia melepas pelukan hangatku.

"Aku lapar." ucapnya, menepuk perutnya. Aku membukakan pintu untuknya, tersenyum pada diri nakalnya.

"Aku juga." ia berdiri di depan pintu yang terbuka, masih menatapku.

"Apa yang kau inginkan  kalau begitu?" Kami sering memiliki pilihan macam-macam pada makanan  atau restoran. Kami berargumen beberapa kali tapi kami berdua akhirnya  berkompromi, aku menyukai itu.

"Kau." aku tersenyum  lebar pada perempuan yang terkekeh itu, menyender menciumkan bibirku  padanya. Ia terkekeh di bibirku sebelum bergerak padaku selama beberapa  saat.

"Kau tak tahu betapa  seksinya bokongmu terlihat di gaun ini." ucapku di pipinya, mengusap  bibirku. Nafasnya tercekik diikuti ketegangan tubuh. Aku suka dampak  yang kutimbulkan padanya.

"Masuk ke dalam mobil."  Beth dengan nakal mendorongku, mencoba menutupi rona di pipinya. Aku  terkekeh, melompat ke sisi mobil. Kami memutuskan untuk berhenti di Subway di ujung jalan.

"Kapan kau akan mulai bekerja?" tanyaku, menatap sekilas padanya.

"Minggu depan. Kemungkinan saat mereka memilih orang kedua." jelasnya, bangga akan kesuksesannya menjadi orang pertama.

"Dan aku akan  mendapatkan kunci untuk apartemenku besok." tambahnya, suaranya penuh  dengan kegembiraan. Aku mengambil tangannya padaku, menekankan ciuman di  punggung tangannya, fokusku masih di jalan.

"Aku sangat senang untukmu." ucapku padanya. Ia menjaga tanganku padanya, menjalin jari kami bersama.

Aku memarkirkan mobilku di depan Subway. Tak terlalu lapar untuk sebuah Sandwich yang besar. Aku hanya akan mengunyah sedikit bagian darinya.

Tokonya tak terlalu  ramai. Hanya beberapa pasangan yang duduk di ujung. Toh, Ini jam kerja.  Pasangan itu terlihat tak asing, terlalu tak asing. Perempuan itu  memutar dari tempat duduknya dan matanya langsung bertemu denganku.

"Harry?" ucap Marie.

Astaga tidak. Sial. Marie sialan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

When we're 19 (Indonesian Translation)Where stories live. Discover now