14

859 149 156
                                    

"Biru langit lah yang selalu memeluk semburat Jingga. Dalam awal pagi maupun pengakhir hari."

☆☆☆

"Kak!" Redi menghentikan langkah, tepat di samping mobilnya yang sedang terparkir di ujung halaman parkir sekolah. Laki-laki itu membalikkan tubuhnya, menghadap Jingga. Lalu menaikkan sebelah alisnya tanda bertanya.

"Harusnya Kak Redi antar Kak Vitha aja, Jingga gak apa-apa kok pulang sendiri." Gadis itu tetap diam di tempatnya. Menatap lurus ke arah Redi yang kini menyandarkan punggungnya pada badan mobil. Laki-laki itu tersenyum. Entah apa maksud dari senyuman itu, Jingga tidak paham.

"Kamu gak usah takut sama Vitha," Kata Redi, mencoba menenangkan kegelisahan Jingga. Kalau boleh jujur, memang banyak sekali kekhawatiran dalam benak gadis mungil itu. Mulai dari pikiran-pikiran jelek tentang apa saja yang akan Vitha lakukan padanya. Bisa saja kan gadis berwajah cantik itu mengguyur seragamnya dengan es gelas ibu kantin. Atau lebih parah lagi kalau Vitha sampai tega menarik rambut Jingga sampai copot. Eh, gue kan bukan tante rambut palsu, gak mungkin sampai copot juga sih. Batinnya. Sepertinya Jingga sudah menjadi korban ftv.

"Hei," Redi mengibaskan tangannya di depan wajah Jingga. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, berusaha membuang pikiran-pikiran menyeramkan itu dari otaknya. Jingga mengerjap beberapa kali. "Jangan melamun, ntar kesambet setan loh." Redi terkekeh.

"Setan cinta, eh!" Jingga segera menutup mulutnya dengan tangan. Anjir, gue keceplosan modusin kak Redi. Redi tertawa kecil.

"Udah ayo masuk," katanya seraya membuka memencet kunci mobil dari remot yang di pegangnya.

Redi membukakan pintu penumpang, lalu mempersilahkan Jingga masuk ke dalam mobil. OMG! mimpi apa gue semalem diperlakukan kaya seorang puteri sama pangeran Redi. Semburat merah menghiasi pipi chubby gadis itu. Dengan malu-malu kecoak, Jingga memasuki mobil Redi dengan anggun, sudah berasa seperti putri beneran dalam cerita dongeng.

Setelah menutup pintu, Redi berjalan memutar untuk mencapai pintu kursi kemudi, lalu memasuki mobil dengan segera.

"Hm Kak," Redi menoleh sambil memakai setbeltnya. "Jingga mau ke tempat teman dulu ya, Jingga kangen," kata Jingga memasang wajah dengan mata berbinar. Sok imut!

"Gak keberatan kan Kak?" tanya Jingga lagi, memastikan laki-laki itu mau mengantarnya. "Haha iya gak apa-apa."

***

Dengan rasa penasaran yang tak bisa diungkapkan, Redi terus mengikuti langkah Jingga. Gadis itu dengan wajah cerianya menyusuri jalan setapak, yang kanan dan kirinya terdapat banyak nisan tertancap di tanah. Ya, mereka berdua sedang berada di pemakaman umum.

Redi tidak tahu apa tujuan Jingga mengajaknya ke kuburan. Demi kumis baplangnya Pak Deri, bulu kuduk Redi berdiri seketika. Laki-laki itu bergidik ngeri.

"Kak," suara Jingga membuat Redi terlonjak kaget. "Jingga, ngagetin aja sih." protes Redi. Padahal suaranya tidak begitu keras, mengapa Redi harus terkejut? Jingga tersenyum meremehkan, matanya memicing ke arah Redi.

"Kak Redi takut ya?" tebak Jingga sambil menahan tawa.

"Takut? Ya gak lah!" Jingga tertawa kecil, Redi ternyata orang yang penakut!

Warna Warni Rasa (TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora