15

778 122 102
                                    

Tok..tok..

Suara ketukan pintu itu membuat Biru kembali membuka matanya yang tadi sempat terpejam. Tak lama suara decitan pintu terbuka terdengar, menampakkan sesosok laki-laki dari balik pintu.

Dia berjalan masuk lalu duduk di kursi belajar milik Biru. "Minjem charger dong Ru," dia mencari kabel itu di atas meja. Biru tetap bergeming di tempatnya merebah. Tak ingin membalas apapun celotehan adiknya yang beda dua tahun itu, tapi tidak pernah memanggilnya dengan sebutan 'kak'.

Choki menghentikan aktivitas mencari kabel charger milik Biru, matanya tertarik pada satu benda bulat kaca di atas meja. Laki-laki itu melirik Biru yang sedang rebahan di kasur sambil memejamkan mata.

"Belum dikasih juga ni benda?" Tanya Choki sambil memegang snow globe itu di tangannya. Meneliti setiap jengkal benda itu. Ada miniatur pohon di sana, dengan daun yang berguguran. Dan ada jembatan kayu di sampingnya. Bagus.

Biru membuka matanya, melirik Choki yang sedang memegang snow globe itu. "Simpen gak! Pecah gue tendang lo ke Mars!" Biru dengan sigap mengubah posisinya menjadi duduk, dia tidak terima snow globe itu dipegang adiknya. Dengan nurut, karena mungkin Choki pun takut benda rentan pecah itu benar-benar akan pecah di tangannya, dia menyimpan kembali pada tempat semula. Kalau benar hal itu terjadi, Biru pasti akan langsung menerkamnya.

"Mau sampai kapan?" Tanya Choki sambil beralih mengambil charger yang tersimpan di kotak berwarna putih, di atas meja belajar.

"Bawel lo! Anak kecil ngerti apa sih." Biru membuka sepatunya yang masih terpasang di kedua kakinya.

Choki berjalan menuju pintu, "Setidaknya gue tau, kalau gue lagi cemburu sama cewek," kata Choki sembari berjalan keluar kamar Biru lalu menutup pintu. Biru mengumpat sejadi-jadinya. Bisa-bisanya anak kecil itu sok tau soal cinta. "Gak kaya lo, yang cemburu tapi gak mau ngaku." Choki kembali membuka pintu, lalu menyembulkan kepalanya ke dalam. Setelah itu ia menutup pintu kamar Biru dengan cepat.

"Sialan!" Sebelah sepatu milik Biru berhasil melayang dan membuat dentuman kencang mengenai pintu kayu itu. Dari luar kamar Choki malah tertawa kencang menertawai Kakaknya itu.

***

Jingga membuka lembaran kertas yang sedang dipegangnya. Membaca dengan seksama setiap rentetan kalimat yang tercetak di sana. Bukan tulisan tangan, itu adalah hasil cetakan.

Puisi berjudul "Ibu" itu memang sengaja dibuat oleh Redi, untuk lomba musikalisasi puisi yang diadakan tiga hari lagi. Puisi yang bagus sekali menurut Jingga. Pemilihan kata yang pas, tidak berat, namun terlihat cukup menyentuh. Jingga memang sudah menyangka laki-laki pasti akan membuat puisi se-keren ini. Redi adalah laki-laki Multitalent.

"Gimana?" Redi kembali duduk di sebelah Jingga. Setelah tadi dia merapikan beberapa barang yang berserakan di ruang musik itu. Meminta pendapat Jingga tentang puisi buatannya.

Gadis itu menoleh ke arah Redi, lalu memberikan seulas senyum. "Bagus Kak," ucap Jingga tulus. Redi tersenyum puas mendengar jawaban gadis itu.

"Yaudah kita mulai sekarang?" Jingga menganggukkan kepalanya tanda setuju. Mereka berdua bangkit dari duduknya. Redi kembali memposisikan dirinya di belakang piano. Siap mengiringi Jingga untuk membacakan puisi di depannya.

***

"Penghayatan kamu tadi bagus banget." Redi langsung memuji Jingga tepat saat mereka baru saja keluar dari ruang musik. Jingga tersenyum malu. Padahal dia merasa biasa saja saat membacakan puisi itu tadi. Entah Redi hanya ingin membuatnya merasa senang, atau memang tulus memuji, Jingga tidak peduli. Yang pasti saat ini dia merasa senang bisa sedekat ini dengan Redi.

Warna Warni Rasa (TERBIT)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin