52. Ingin Menyerah

1.4K 141 11
                                    

"Iya, Min PD menyerahkan urusan kepengelolaan kepadaku sekitar dua bulan lalu," Katanya.

Persetan dengan hal itu, yang aku inginkan hanya manusia bernama Min Yoongi hadir di sini.

"Kemana perginya ia?" Tanyaku, sambil mengatur nafas.

"Kalau itu, aku juga tidak mengetahuinya. Setelah ia menyerahkan urusan tersebut padaku ia menghilang begitu saja," Jawabnya. "Tapi aku masih bisa menghubunginya."

Apa ada jawaban lain yang lebih masuk akal? Apa Yoongi sebenarnya sudah mati ditelan bumi? Aku sangat muak mendengarnya! Mengapa orang-orang di sini seakan tak ingin memberitahu aku dimana keberadaan Yoongi?! Mengapa semuanya seakan tak ingin aku bertemu dengannya?!

"Apa aku bisa meminta nomor telefon atau semacamnya? Aku yakin kau punya," Tanyaku.

"Maaf nona, ada urusan apa?"

"Urusan pribadi. Ini sangat penting."

Gadis itu menghela nafas, "Maafkan aku, nona. Tapi Min PD berpesan agar aku tak memberikannya pada siapapun."

Boleh aku berteriak?

"Dia bilang begitu?"

"Iya. Maafkan aku," Katanya.

Aku menghela nafas berat dan tertawa kecil, "Min Yoongi bangsat juga ya," Umpatku dalam Bahasa Indonesia.

"Maaf nona, kau bicara apa?" Tanyanya.

Aku tersenyum, "Bukan apa-apa. Tapi aku punya satu permintaan padamu," Ujarku.

"Apa itu? Akan aku usahakan," Katanya.

Aku memegang bahu gadis itu, "Dengar. Jika kau benar-benar bisa menghubungi si bajingan itu, aku ingin kau katakan ini padanya," Aku menghentikan kalimatku sesaat.

"Bilang padanya jika ia tak ingin Ghania menikah dengan orang lain, maka temui ia di restoran Pak Yanto lusa malam," Lanjutku dengan nada sarkastik.

Gadis itu tertegun, melihat seakan ketakutan aku akan menggigit tangannya sekarang juga.

"B-baik nona.. A-apa ada hal lain?"

Aku merubah raut wajahku. Mengembangkan senyuman padanya.

"Tidak ada. Hanya itu permintaanku. Tolong jaga amanatku dan kirim pesan atau telefon ia secepatnya." Ujarku.

"Baik." Ia langsung pergi mengambil ponselnya dan mengirimi Yoongi pesan dariku.

Sialan kau, Min Yoongi. Menyusahkan!

🎡

Aku memijit kening setelah duduk di jok mobil Hyoah. Merasakan pusing yang luar biasa, yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku perlahan mengunyah roti yang kubeli sambil menghela nafas.

Untung saja Hyoah berkenan untuk menjemputku di stasiun Seoul. Karena bus terakhir sudah jalan, aku tak tahu harus pulang naik apa, jam tanganku menunjukkan pukul sebelas malam tiba-tiba ia datang di depan halte bus dekat stasiun Seoul.

"Gimana? Ada gak Yoongi nya?"

"Nggak," Jawabku singkat.

"Lo capek-capek kesana, Ghan. Duh, harusnya tadi minta anter gue aja," Katanya.

"Dari tadi siang gue telponin tuh Yoongi kaga di angkat, apa udah gak aktif lagi nomernya ya?" Lanjutnya.

Aku melirik Hyoah sesaat, "Lo nelponin dia?" Tanyaku.

"Iya lah, gila. Lo lagi nyariin dia gue juga nyari. Lagian kaga ada jejak pisan," Kata Hyoah.

Aku menghela nafas, "Tadi gue ketemu pengelola kursus piano disana."

"Terus?"

"Dia bilang Yoongi emang ngasih kepengurusan kursus ke cewek itu. Nah, si cewek itu, dia punya nomernya Yoongi."

Hyoah terkejut, "Lah, terus lo minta gak?"

"Gue minta. Tapi dia gak ngasih. Dia bilang Yoongi ngelarang dia untuk ngasih nomer. Kan bangsat, kak. Astaga, Yoongi pengen bunuh gue kayaknya!" Ucapku kesal.

"Si bego apa gimana ya Yoongi. Terus, lo gimana?"

"Gue suruh si cewek itu untuk hubungin dia. Bilang ke Yoongi kalo gue minta ketemuan sama Yoongi di restorannya Pak Yanto lusa, sehari sebelum gue pulang ke Jakarta."

Hyoah tertawa kecil, "Hadooh.. Ribet banget dah ya. Perjuangan nih. Ngerti aku," Katanya.

Aku menyusul tawaannya, "Ya lo sih, enak. Udah di lamar, tinggal nikahnya aja."

"Enak apanya. Lo pikir bayar pelaminan pake daun pisang?" Tanya Hyoah dengan nada sarkas. Aku tertawa mendengarnya.

"Yah, seenggaknya Kak Jimin beneran serius sama lo. Bahkan persiapan pernikahan lo sudah setengah jalan. Sementara gue…"

Aku terdiam sesaat.

"Masih dalam bayang-bayang bakal ketemu dia apa enggak... Meskipun nasib orang beda-beda, tapi kok kayaknya gue apes banget ya?"

Hyoah dan aku bungkam untuk sesaat. Hanya ada suara radio dari mobil yang menghiasi percakapan kami berdua.

"Tau ah! Kalaupun gue harus nikah sama Lian juga yaudah!"

"Ih, kok lo jadi nyerah gitu sih?!"

"Abisnya…" Suaraku bergetar. Perlahan, air mataku mengalir seperti anak kecil.

"Mau ketemu aja susah banget.. Gue ngerasa capek kak…" Kataku.

Hyoah memberikan sehelai tissue walau ia tengah menyetir, "Ssst dah dah, jangan nangis. Kita bakal nemuin dia, okay?" Ujarnya

"Inget umur, udah 23 juga," Lanjutnya sambil meledek. "Kalau lo yakin bakal ketemu sama Yoongi, maka lo akan ketemu beneran sama dia. Serius deh."

Aku mengangguk, mengelap sisaan air mata yang ada di wajah. Membenci fakta bahwa betapa memalukannya diriku karena menangisi nasib sendiri.

Kalau kau percaya, maka aku juga percaya. Karena kita berdua saling percaya, maka seharusnya kita saling terhubung. Saat ini aku ingin bertemu denganmu maka seharusnya kau juga merasakan yang sama. Mengapa demikian?

Aku percaya, kau percaya. Kita berdua percaya ada benang merah yang saling mengikat diri kita satu sama lain.

🎡🎡🎡

My WorldWhere stories live. Discover now