38. Cliché

1.3K 132 4
                                    

'Ghan, kapan ke Seoul lagi?'

"Besok malem mas, kenapa?"

'Pulang dulu sebentar, ayah sama ibu mau ngomong.'

Ketika mendengar hal itu, aku tertegun. Keheningan melanda jaringan telefon kami berdua malam itu setelah aku pulang dari atap hotel dengan Yoongi. Mia sudah tertidur pulas di kasur lainnya. Dan aku disini lanjut mengerjakan laporan.

"Mau ngapain? Ada apa?"

'Besok ortunya Lian dateng juga soalnya. Mau ngomong sama lo.'

Apa yang selama ini aku khawatirkan benar-benar terjadi. Tak ada pilihan lain selain memijit kening dan merasakan penat yang bertambah.

"Gue rasa gue gak hidup di era Siti Nurbaya deh." Aku berusaha bertutur kata yang sopan.

Mas Irvan terkekeh, 'Lo nurut aja.' Ucapnya santai.

Adakalanya aku cemburu dengan abangku satu-satunya ini, kenapa ia hidup seperti burung gereja yang terbang bebas kesana kemari, sedangkan aku hidup bagai burung yang dikurung di dalam sangkarnya?

"Mas, gue masih suka sama Yoongi.." Kataku lirih.

Mas Irvan berdeham, 'Dua tahun lo kemanain? Gak digunain buat move on?'

Aku cukup geram mendengarnya, "Lo pikir segampang itu? Gue gak ngerti," Kataku sarkastik.

"Lagian kemarin ayah ngelarang gue sama Yoongi, sekarang nyuruh gue sama Kak Lian? Kenapa sih sebenernya?" Lanjutku.

'Ya lo ngerti lah. Si Lian kan udah kerja netep juga di kantor ayahnya sambil kuliah, ya seiring nanti lo lulus dia udah siap juga.'

"Yoongi juga udah kerja, dia lebih dewasa dari gue, terus kenapa ayah gak beri Yoongi kesempatan, seengaknya untuk ngeyakinin ia kalau Yoongi beneran serius sama gue,"

Kali ini, Mas Irvan tutup mulut.

"Gue emang suka sama Kak Lian, dulu gue bener-bener buta akan siapapun karena dia, gue yakin ayah, ibu sama lo juga ngerti. Tapi seiring waktu perasaan itu berubah, emang yakin Kak Lian bisa bimbing gue nantinya? Lulus kuliah gue nanti paling baru 22 tahun, gue belum siap ngejalanin hal serumit itu di usia gue yang masih muda." Aku masih melanjutkan argumen.

"Dan setelah gue dapet gelar sarjana seni musik nanti, belum tentu gue gampang dapet kerjaan. Ayah gak bisa seenaknya mengatur gini dong, Mas?" Lanjutku dengan suara yang bergetar.

'Ghania, lo kan bakal belajar jadi orang dewasa nantinya… Gue yakin Lian bisa bimbing lo, dia juga udah dewasa.'

Hatiku seperti tersayat, mendengar Mas Irvan seakan tidak mengerti apa yang aku rasakan. Aku menahan ratapanku hingga tak bisa terdengar olehnya.

"Kalau… Kalau hal ini jadi kebahagiaan ayah, ibu sama lo.. Oke, gue bakal pulang ke rumah besok. Ketemu sama orang tuanya." Ujarku tenang.

"Tapi, jangan harap gue bisa bahagia beneran."

'Jangan gitu, Ghan.'

"Kalian yang pengen 'kan? Gue turutin. Demi keluarga."

'Ghania, dengerin. Ayah kayak gini karena pengen liat lo bahagia.'

"Apanya?" Tangisku pecah. "Kayak gini yang ada bikin kepala gue pecah, kak!" Lanjutku.

Aku menangis, menahan suaranya sedemikian rupa agar tidak membangunkan Mia. Merasakan perih di dada karena menatapi kenyataan yang ada.

'Sssh sssh dah dah, gue minta maaf. Bukan mau gue juga, gue tau lo sayang banget sama si Korea itu, gue juga tau dia sayang banget sama lo. Cuma kayak lo, gue gak bisa ngelawan ayah juga, Ghan.' Ujar Mas Irvan.

'Kalau bisa udah gue lawan dengan bawa Yoongi sama lo ke hadapan ayah, maksa si Korea itu buat tanggung jawab sama lo.' Lanjutnya.

Aku masih bungkam, mendengar suara Mas Irvan. 'Sekarang tidur, besok pagi gue jemput di hotel.'

"….."

'Ghan?'

"Iya."

'Tidur.'

"Iya. Bye."

Aku sudah bukan dalam suasana hati untuk mengerjakan laporan. Lebih baik aku putuskan hubungan telefon itu dan memejamkan mata, melupakan apapun yang baru saja terjadi.

Kadang kau hanya berpikir kau bersedia belajar mencintai seseorang hanya untuk kebahagiaan orang lain, bukan kebahagiaan dirimu sendiri.
🎡🎡🎡

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang